Jumat, 06 Januari 2012

Mesin Jahit

Sudah lebih dari jumlah umurku sekarang, mesin jahit tua itu menemani ibuku. Menemani hari hari ibu yang tak pernah sepi oleh nada yang tercipta dari sentuhan telapak kakinya. Suaranya seringkali membuat tidur malamku dalam marah tertahan. Bukan ibu, hanya sampai kapan aku hanya bisa seperti ini. Hanya mewarnai malamku dengan marah yang terungkap lewat dengkur yang dibuat buat agar ibuku segera mengakhiri harinya, dan sejenak membiarkan mesin jahit itu merindu telapak kakinya. Dan kembali menyentuhku, memeluk malamku yang  telah seharian menahan cemburu pada lempeng penjejak mesin jahit itu.

Tidak ada siapapun di rumah ini selain mesin jahit tua itu, ibuku, dan aku sendiri dengan segala keterbatasanku. Seringkali ingin ku bakar mesin jahit butut legam itu, bahkan warnanya tak bisa ku jelaskan lagi selain dingin yang sangat setiap aku menyentuh salah satu empat kakinya. Tapi tanpanya aku tak kan bisa bertahan merasakan kehidupan meski hanya dalam sekotak kamar yang selalu ku tempati setiap waktu, setiap detik dalam nafasku.

Aku tak seperti teman temanku, bekejar-kejaran bermain bersama, meloncat girang sambil lancar melafalkan nada-nada lagu, teman-temanku yang hanya bisa ku kenal dari kejauhan lewat jendela kamarku yang bisa ku buka tutup sesuka hati. Aku tak peduli dengan ejekan teman temanku yang terkadang membuatku meneteskan beberapa bulir dari mataku yang tak bening ini.
Kamu cantik, begitu kata ibu padaku setiap kali menimangku sebelum membawaku menemaninya mengantarkan pesanan jahitan. Mungkin milik ibu ibu yang kadang menemani ibuku bercengkerama hingga ibuku menyerahkan selembar kertas kecil yang bertuliskan angka angka, dan saat itu selalu ku lihat ibuku mengakhiri percakapannya dengan anggukan takdhim.

Aku hanya bisa tersenyum di balik bibir sumbingku yang selamanya akan sumbing seperti ini, melihat mesin jahit kesayangan ibu. Dia tak pernah mengeluh sampai membuat ibuku akan kesulitan menserviskannya ke tukang mesin. Ingin ku gantikan ibuku menggerakkan lempeng hitam mesin jahit itu.
Pernah sekali aku melakukannya, ku seret paksa tubuhku yang tak lengkap ini. Sungguh tampak sangat ganjil Kawan, dengan tubuh yang tak lebih besar dari guling besar milik ibu dan sepasang kaki dengan ukuran ranting pohon beringin tengah balai desa kami, ku seret pelan bertopang pada tanganku yang tak bisa lurus. Sungguh sangat senang diriku saat akhirnya aku bisa menyentuh lempeng hitam itu, bagian paling vital mesin jahit pahlawan ibuku. Ku gerakkan pelan, sangat pelan sambil ku rasakan dinginnya lewat telapak tanganku yang selama ini hanya mengenal kehangatan ibu. Meski tubuhku mulai bergetar karena merasa kedinginan, tapi tak pernah ku lunturkan semangatku untuk agar malam itu aku bisa menggantikan sepasang kaki ibu.
Ku beranikan menekannya lebih kencang hingga menimbulkan suaranya yang biasa ku dengar setiap malam.
juk ujuk ujuk ujuk,
Aku tertawa riang mendengarnya, sungguh berbeda rasanya ketika aku hanya mendengarnya tanpa menyentuhnya seperti ini. Dan semakin semangat mengerakkanya lebih cepat dan lebih cepat.
Namun, mesin itu tiba tiba berhenti, tak bisa ku gerakkan lagi di saat aku berada di puncak semangatku. Ku tekan paksa dan terus ku paksa, tapi tetap tak bisa.