Minggu, 19 Februari 2012

Menunggu ..

Kau tahu kawan, tak ada kegiatan yang lebih membosankan dan menyebalkan selain menunggu. Di sana aku harus beradu dengan sekeping receh kemungkinan. Ya atau tidak terjadi sama sekali. Ibarat koin receh, dua sisinya begitu mengguncang batin dan jiwa siapa saja ketika seayun saja sebuah tangan melemparkannya membuat jejak tegak yang kasat mata. Dan ketika terjatuh kembali ke tanah dalam daya tarik gravitasinya, di sanalah semua penantian kita berakhir, meski terkadang sebuah impian harus dipaksa lenyap.

Tak ada masalah dalam kegiatan yang telah biasa ku jalani beberapa bulan ini sebenarnya. Tak ada jadwal yang berubah dari biasanya. Pagi dengan rutinitasku di kampus dan beberapa bangku sekolah, siang dengan waktu waktu lengang yang nyaris tak pernah terasa senggang, sore dengan kebersamaan berbagi cerita dan pengalaman, dan malam hilang dalam pejam yang padam. Hanya saja sejak saat itu, saat ibu mulai melepaskan salam takdhim telapak tanganku satu tahun lalu. Aku mulai dipaksa perlahan bagaimana mempermainkan sebuah rasa. Memainkan hati sendiri, merasakan pedihnya dan menikmati sukanya.

....

Umi berapa tahun nanti di sana?

Jumat, 17 Februari 2012

Ustadz

Serumah dengan seorang ustadz ternyata mulai membawa perubahan dalam hidupku. Sama denganku, ia juga selalu mempunyai waktu kosong di tiap pagi, setelah sedikit aktivitas-aktivitas aneh untuk mengawali pagi. Kami hidup di kamar masing-masing dalam rumah berisi lima kamar ini. Jadilah aktivitas pagi kecil kami adalah membersihkan seluruh sudut rumah besar ini. Ustadz itu juga yang mempelopori kegiatan aneh ini. Patut ku sematkan perisai di songkok hitamnya yang bersahaja itu, karena telah berhasil membangunkan aku dan tiga temanku  yang lain dengan aktivitas aneh aneh ini. Selalu tertawa yang spontan merespon putaran memori lalu yang terkadang tiba tiba datang di sela lamunanku. Bagaimana tidak? Hidupku hanya seperti ini, kawan. tak lebih dari transaksi udara dengan siapapun dan apapun di sekitarku sebagai nasabahnya. Melewati waktu kosong, mengisinya, dan menemukan waktu kosong kembali. Lagi lagi hanya kosong yang bisa ku jamah dan yang bisa ku temukan. Dan yang lebih membuatku kosong adalah ketika aku mengisi kekosongan kekosongan itu dan aku masih saja merasa kosong.
Tapi tidak, sejak kedatangan ustadz muda itu di tengah kami.
------
"Lang, musholla umum di sini paling deket sebelah mana?"
Aku yang sedang serius dengan kesibukanku dalam sebuah kekosongan sedikit tersentak dengan pertanyaan orang baru ini. Terpaksa harus ku hentikan sejenak tanganku dari rangkaian maket bangunan rancanganku untuk menyambut pertanyaannya. Sungguh, dalam hati, aku pun tak tahu harus menjawab bagaimana. Bukan karena aku tak tahu dimana letak bangunan yang biasa disebut musholla yang ada di komplek sini, tapi mendengar kata umum, benar benar membuatku kesulitan menjawabnya.