Umi berapa tahun nanti di sana?
ku ulang lagi tanyaku, Umi hanya tersenyum sangat sendu padaku. Ia tak menjawabnya dengan kata. Yang ku tahu hanya aku akan berangkat sekolah tanpa berteriak-teriak lagi setelah hari ini. Tanpa mengucap salam sembari mengawali kayuh sepeda mini ku mengukir jalanan menuju sekolahku.
Aku telah memikirkan tentang pertanyaan ini jauh sebelum hari ini mengukir kisahnya. Sejak Umi mengawali langkahnya untuk hari ini, beberapa bulan lalu. Membicarakannya dengan bapak yang hanya memenuhi seperempat kebutuhan kami setiap hari.
Malam itu, di ruang sholat keluarga kami. Umi yang masih dalam balutan mukenanya, menghadap takdhim ke arah bapak. Aku menjumpainya sejenak setelah aku turun dari ruangan itu. Dan entah, aku benar benar ingin menyimak percakapan yang belum saja dimulai itu. Aku bergegas keluar rumah, mencari posisi paling dekat dengan kamar Umi dan bapakku, yang setiap jam jam tertentu lima kali dalam sehari selalu menjadi tempat paling damai bagiku. Berjamaah bersama dan bapak akan melanjutkan menyimak bacaan mengajiku. Mengatur langkah agar langkah kakiku tak mengusik ketenangan daun daun kering yang berserakan di samping rumahku. Menyenderkan tubuhku perlahan pada dinding kayu rumah warisan nenekku.
Aku hanya menyimaknya, ya aku menyimak seluruh pebincangan Umi dan bapakku malam itu.
Sore yang sendu sesendu senyum Umi padaku