Kamis, 29 September 2011

. . . .

Hanya bisa ku lihat punggungnya yang dibalut kaos oblong yang mulai lusuh. Renta karena mungkin termakan usia. Bapak tak pernah mengeluh dengan lingkaran lingakaran karet yang setiap hari dipeluknya itu. Menyiapkan semua perkakas sejak matahari masih enggan menampakkan sinarnya. Mengisi ember ember besar dengan air yang ditimbanya dari sumur tua di belakang rumah. Mengecek ketepatan pompa anginnya. Merapikan segala obeng dan kunci. Bapak mengerjakan semuanya dengan telaten, dan tak pernah ku dengar sedikitpun keluh kesah tentang pekerjaannya itu.
Hari ini masih dalam kejauhan, aku kembali ke beberapa tahun yang lalu, menyaksikannya dalam memori yang masih rapi. Segala hal yang sangat hidup dalam ketenangan, tak ada gejolak, datar dalam keramaian yang menentramkan.
Hari ini masih dalam kejauhan, mungkin beberapa langkah lagi, segera ku sentuh punggung tangan pemilik punggung itu.
Namun, pagi yang masih berselimut gelap ini tak memamerkan keramaian lalu, beberapa tahun lalu. Emper rumah bapak bersamaku dulu, kini bersih. Tak ada ember ember dan ban ban hitam pekat. Tak ada lagi truk truk yang berjajar membuat antrian. Tak ada lagi pelukan pelukan erat oleh bapak pada ban ban keras itu. Hingga mungkin aku sering terlupa olehnya. Pagi ini senyap dan masih gelap.

Ku sentuh dengan salam yang sedikit ku pelankan. Ia membiarkan punggung tangannya erat dalam genggamanku. Ku cium takdhim dalam diam.

"Bapak," ku sapa pelan dalam dekat yang tak terikat.
Bapak tersenyum dan memelukku erat.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar