Jumat, 14 Desember 2012

A LA NADA



Kawanku ini bukan lagi sosok pendengar yang baik di setiap celoteh yang mengalir di antara kami. Dia, kini lebih dari itu, selalu ada penutup bijak di akhir celoteh kami yang datang darinya. Adalah sosok teladan bagi kami.

"Nad, ba'da maghrib ada acara?"

Dia hanya menjawab pertanyaanku dengan senyum. Aku tak perlu lagi meminta keterangan senyumnya itu seperti tiga bulan lalu. Nada cukup mempertegas senyumnya di tiap waktu privasinya. Kehidupan pesantren telah mengajarkan kami toleransi tingkat tinggi. Dan aku telah mengenal Nada apa adanya termasuk saat-saatnya untuk lebih memilih sendiri daripada bersamaku, teman terdekatnya saat ini. Setelah senyum itu akhirnya aku memutuskan untuk mengubah jadwalku sore ini, dari berdiskusi bersama cangkir-cangkir kopi menjadi berkutat dengan sejumlah tugas tulis menulis yang akhir akhir ini membanjiri hari hariku.

..

Malam ini, aku bermalam  di bawah tenda tenda yang didirikan teman-teman organisasi. Serangkaian acara tadi siang membuat kami kelelahan secara fisik. Di desa terpencil ini, aku bersama teman kampus mengadakan bakti sosial. Dengan bantuan berupa tujuh truk tangki air dan rupa-rupa kebutuhan sembako, aku berharap kekeringan yang ada di desa sedikit terbantu.

Ide bakti sosial ini tentu saja datang dari Nada, temanku yang tadi sudah ku kenalkan pada kalian. Tapi kali ini ia tak bisa ikut terjun berbakti seperti di kali-kali sebelumnya. Nada selalu saja begitu. Baginya sumbangan ide cukup mewakili keterlibatannya dalam berbagai kegiatan organisasi dan ia lebih memilih melanjutkan aktifitas keilmuannya. Setiap kali ku tanya mengapa, jawabannya selalu dibuat-buat alim. 
Kewajibanku masih sebagai pelajar, hal-hal tersebut tidak bisa menyempurnakan kewajibanku. Dasar Nada! Entah, setelah itu mungkin ia berkutat dengan konsep-konsep di dalam perpustakaan hingga menjelang sore. Atau ia mengirimkan ide-idenya ke berbagai media massa.

Namun sejatinya aku tak lebih mengenalnya selain pribadi pendengar dan pemberi solusi yang baik. Dan malam itu, setelah bersiap untuk tidur malam ku sempatkan sejenak untuk  menjelmakan sosok Nada dalam goresan bolpoin dan selembar kertas untuk kegiatan hasil idenya sehari ini.

..

Pesantren kami tergolong salaf, maka termasuk perizinan keluar bukan hal yang mudah dan bukan hanya sekedar membayar surat izin. Selalu saja ada pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan bagian keamanan kepada santri yang hendak keluar dari kawasan pesantren.

Semua itu adalah hal-hal yang biasa saja bagi seorang santri yang nyantri di pondok pesantren. Apalagi aku telah lama nyantri di pesantren ini. Namun, yang membuatku kaget adalah Nada.

"Hei, ndi oleh-oleh e, rek" sapa Nada saat aku baru sampai kamar dan duduk di depan almariku.

"Hehe, jeh kesel rek. Tapi kae ono nang tas kanggo awakmu" kataku sambil memberi isyarat kepada Nada untuk segera membongkar isi tasku.

"Priye bakti sosialnya. Sukses ra?" aksen Jawa Tengahnya masih melekat meski sudah bertahun-tahun tinggal di pesantren ini.

Kemudian mengalirlah celoteh kami berdua. Terkadang diselingi oleh gelak tawa dan mimik serius yang dibuat-buat. Tidak bertemu dengan Nada beberapa hari ternyata membuat semangat berceritaku lebih tinggi. Sambil berharap cemas apalagi yang akan dia pesankan padaku di setiap akhir cerita kami. Sore itu benar-benar  melenyapkan rasa lelahku setelah beberapa hari kemarin terlibat dalam kegiatan bakti sosial.

Namun, belum rampung cerita kami sore itu. Suara panggilan dari kantor keamanan yang tersebar lewat TOA di seluruh penjuru pondok membuatku terhenyak. Seketika aku terdiam, begitupun Nada yang namanya disebut dalam panggilan itu.

Sekali lagi aku simak panggilan yang menggema di setiap sudut pondok. Benarkah ia menyebut nama kawanku ini? Bertahun-tahun aku tinggal di pesantren ini, aku mengenal Nada adalah santri yang tak pernah tersentuh oleh pihak keamanan. Sudah lima kali pergantian pengurus sejak aku pertama kali terdaftar sebagai santri pondok pesantren ini, dan aku tak pernah menemukan Nada salah memakai kaus kaki ketika ia berangkat sekolah apalagi sampai dihukum di tengah lapangan karena telat berangkat sekolah.

Setelah terdiam beberapa saat, aku membuyarkan ketegangan ini dengan melontarkan sebuah tanya kepada Nada yang sedang duduk di hadapanku saat ini.

"Nad, jenengmu itu tadi ya?"

Namun aku lebih heran lagi ketika wajah Nada justru sama sekali tidak menyimpan ketegangan akibat panggilan itu. Aku tak mungkin salah dengar tadi, lalu kenapa Nada justru santai begini. Bagiku, panggilan seperti ini benar-benar menegangkan. Karena hanya pelanggaran-pelanggaran yang tergolong berat yang akan diurus langsung oleh keamanan pusat. Selama ini, bahkan nama Nada tak pernah mampir di bagian keamanan kompleks. Berbeda denganku yang pernah beberapa dipanggil oleh ustadz Jamal, ketua keamanan kompleks ini. Panggilan keamanan pusat ini berhasil membuat hatiku bertanya-tanya.

"Biasa ae," jawabnya sambil menepuk pundakku dan membuat segaris senyum. Mungkin ia menangkap keteganganku.

Jawaban itu justru melahirkan banyak sekali pertanyaan di pikiranku. Ia beranjak menuju sumber suara yang telah memanggil namanya. Sore itu, untuk pertama kalinya celoteh kami berakhir dengan ketegangan di fikiranku, tapi sepertinya tidak bagi Nada.

..

Kegiatan bandongan dengan pengasuh usai jamaah tadi masih belum bisa menghapus keteganganku tentang kasus Nada. Entah apa penyebabnya, kekhawatiran ataukah keingintahuan. Aku pun tak ingin membuatnya jengah dengan pertanyaan yang ku lontarkan setelah ia kembali ke kamar sesaat sebelum adzan maghrib tadi. Jawaban yang ku dapat hanya seulas senyum dan tambahan tepukan tangannya di pundak kiriku. Aku hanya menggelengkan kepala melihat sikapnya tersebut dan bergegas berangkat ke aula untuk sholat berjamaah.

Malam ini, ku putuskan untuk meminta izin ke bagian keamanan, ku buat-buat alasan supaya aku dibolehkan keluar sebentar saja. Keteganganku ini sungguh di luar kendaliku, setidaknya melihat keadaan bising jalan raya di luar sana bisa membantuku untuk sejenak tidak mengabaikan ketegangan ini. Setelah surat izin ada di genggaman, aku bergegas keluar pondok. Butuh sekitar lima belas menit untuk sampai di jalan raya dengan langkah lebar-lebar.

Setelah merasa puas dengan duduk-duduk di halte depan gang masuk ke arah pondok, ku putuskan untuk jalan-jalan menyusuri keramaian jalan raya. Batas izinku masih ada satu jam lagi. Sambil mengedarkan pandangan sekenanya aku berjalan selangkah selangkah. Ku selipkan kedua tangan ke dalam saku jaket lebih erat, berusaha mengusir dingin malam.

Ternyata ada juga keceriaan di tengah malam dingin seperti ini. Segera ku hampiri gerombolan pemuda dan anak-anak jalanan yang sedang menyanyi dan bercanda bersama. Tapi belum terlalu dekat posisiku dengan keceriaan itu, aku terpaku pada satu orang di antara mereka. Aku segera bersandar di dinding terdekat, menyembunyikan diri demi meyakinkan atas apa yang baru saja ku lihat. Benarkah pemuda itu Nada? Kawanku di pesantren. Ku perhatikan lamat-lamat setiap gerak tubuhnya dan wajah yang nyaris tak ada yang tak mirip dengan Nada kawanku di pesantren. Hanya saja pemuda itu tidak sedang memakai sarung seperti kebiasaan Nada di pesantren.

Ku tunggui saja keramaian itu sampai mulai berkurang satu-satu di antara mereka, meninggalkan keceriaan yang masih sama sejak tadi. Batas izin keluarku bukan lagi hal yang terpenting saat ini. Kalau memang pemuda itu adalah Nada, untuk apa dia di sana? Dan bukankah harusnya malam ini ia ada di kantor keamanan pusat, menindaklanjuti panggilannya tadi sore? Aku harus memastikan pertanyaan hatiku ini.
Setelah pemuda mirip Nada tadi beranjak pergi, aku beranikan untuk menghampiri beberapa pemuda yang masih ada di sana. Beruntung tempat persembunyianku tadi bukan tempat lalu lalang orang-orang. Maka dengan sukses persembunyianku benar-benar tidak tertangkap oleh siapapun, termasuk oleh pemuda-pemuda ini.

Setelah merasa menyatu dengan obrolan ngalor-ngidul dengan pemuda-pemuda ini, aku mulai bertanya perihal pemuda yang sangat mirip dengan kawanku, Nada. Awalnya mereka saling pandang, seolah mencari kesepakatan. Tapi, alhamdulillah akhirnya meluncurlah cerita panjang tentang Bang Nad.

"Bang Nad. Kami terbiasa dengan panggilan itu pada Bang Nad. Dia sering datang kemari, paling jarang seminggu dua kali. Kadang malam kadang juga pagi. Tapi kami paling rame ketika ia datang malam-malam seperti ini. Bang Nad selalu bawa camilan kalau malam hari, jadi ajakan-ajakannya menjadi lebih ringan sambil guyonan. Dulu, kehidupan kami ga selurus ini. Lambat laun, kalu dirasa-rasakan ternyata lebih damai begini. Ga judi lagi, ga miras lagi, apalagi nyimeng. Banyak hal yang berubah, bro."

"Saya juga gitu, Bang. Setiap kali saya mau ke sini, sekarang selalu saya sempatkan pamit dulu sama ibu di rumah. Ibu juga udah tahu Bang Nad yang mana, kadang juga kita ngumpul di rumah saya. Ibu udah percaya sama Bang Nad," sambung bocah berpostur tubuh usia SD.

Penjelasan-penjelasan ini berkecamuk memenuhi otakku disusul oleh cerita tentag Bang Nad yang lain, seketika membuat sesak dadaku. Inikah jawaban senyum-senyum itu?

(nD)

Selasa, 21 Agustus 2012

bersamanya

Kau tak akan pernah menemukan apa yang selalu kau bahas dalam surat-surat pendekmu. Tak akan pernah pula menemukan ujung di tiap bacaan-bacaan itu usai. Tak akan pernah melihatnya cair seiring air yang lahir dari gumpalan es. Karena kau tak pernah memikirkan itu, kau hanya ingat satu hal. Kau hanya ingat satu sosok dimana pun dan dalam surat apapun.

Kau tak pernah berharap bacaan itu berakhir meski dalam not-not yang sangat sengau, bahkan kucing gendut yang selalu bersamamu segera beringsut menjauh darimu. Kau hanya mengingatnya selalu setiap kau pelan-pelan mengeja huruf demi huruf lembaran itu.

Kau bahkan tak pernah tahu apa yang kau inginkan dalam surat-surat pendek itu. Padahal di sana, di tulisan yang telah lengkap itu, terhampar begitu banyak makna yang kau butuhkan dalam setiap langkahmu. Surat-surat pendek itu, bagimu hanya mampu memberi warna yang tak butuh kata untuk menjelaskan pesonaya, ia hanya tulisan-tulisan yang selalu membuat hatimu riang selalu. Tapi kau tak pernah tahu ada semua itu disana. Dan dia bukan seperti kau, dia hanya menerjemahkan ketenangannya yang tiba-tiba harus terusik oleh surat-surat itu, sedang kau ada di sana, di surat-surat itu.

Apalagi cair, saat bekunya pun kau nyaris tak pernah menyadari. Satu dua waktu, kau berhasil menangkapnya. Itu pun karena ada dia di sana, dengan pelan membacakannyya untukmu. Kau terkadang terlalu ke-aku-an, hingga dia bagimu tak perlu ada spasi jika bersamamu.

Karena kau hanya ingin bersamanya, dalam keadaan bagaimanapun. Meski menurut orang lain, hal ini bukan lagi masalah logis. Dan kau tak bisa dipaksa realistis atau kau masih tak mau membiarkan dirimu melepaskan jiwamu yang setahun terakhir tak lagi seperti dulu. Kau hanya ingin mebaca surat bersamanya, meski perih atau sedih. Tak peduli sedu sedan, tak perlu riang tawa. Bagimu mengenang kebersamaan dengannya mampu menyisihkan apapun hal di luar kebersamaan itu.

Tapi lagi lagi dan berkali kali,
ia perlahan menjauh, menerjemahkanmu bagai boncel yang ada di ukiran patung yang siap dipasang di dinding candi. Ia perlahan beringsut melepasmu, namun kau masih saja belum menyadarinya.

karena kau hanya ingin bersamanya, meski dalam hal yang sangat dibencinya.

Senin, 20 Agustus 2012

kelabu

masih jelas
bak membuka album hitam putih
namun yang ku temu
hanya kelabu,
yang mempertanyakan ketegaran sang kalbu

aku hanya biisu
menyesali dalam ragu

Minggu, 18 Maret 2012

Menunggu .. ep. 2

Umi berapa tahun nanti di sana?
ku ulang lagi tanyaku, Umi hanya tersenyum sangat sendu padaku. Ia tak menjawabnya dengan kata. Yang ku tahu hanya aku akan berangkat sekolah tanpa berteriak-teriak lagi setelah hari ini. Tanpa mengucap salam sembari mengawali kayuh sepeda mini ku mengukir jalanan menuju sekolahku.

Aku telah memikirkan tentang pertanyaan ini jauh sebelum hari ini mengukir kisahnya. Sejak Umi mengawali langkahnya untuk hari ini, beberapa bulan lalu. Membicarakannya dengan bapak yang hanya memenuhi seperempat kebutuhan kami setiap hari.

Malam itu, di ruang sholat keluarga kami. Umi yang masih dalam balutan mukenanya, menghadap takdhim ke arah bapak. Aku menjumpainya sejenak setelah aku turun dari ruangan itu. Dan entah, aku benar benar ingin menyimak percakapan yang belum saja dimulai itu. Aku bergegas keluar rumah, mencari posisi paling dekat dengan kamar Umi dan bapakku, yang setiap jam jam tertentu lima kali dalam sehari selalu menjadi tempat paling damai bagiku. Berjamaah bersama dan bapak akan melanjutkan menyimak bacaan mengajiku. Mengatur langkah agar langkah kakiku tak mengusik ketenangan daun daun kering yang berserakan di samping rumahku. Menyenderkan tubuhku perlahan pada dinding kayu rumah warisan nenekku.

Aku hanya menyimaknya, ya aku menyimak seluruh pebincangan Umi dan bapakku malam itu.



Sore yang sendu sesendu senyum Umi padaku

Minggu, 19 Februari 2012

Menunggu ..

Kau tahu kawan, tak ada kegiatan yang lebih membosankan dan menyebalkan selain menunggu. Di sana aku harus beradu dengan sekeping receh kemungkinan. Ya atau tidak terjadi sama sekali. Ibarat koin receh, dua sisinya begitu mengguncang batin dan jiwa siapa saja ketika seayun saja sebuah tangan melemparkannya membuat jejak tegak yang kasat mata. Dan ketika terjatuh kembali ke tanah dalam daya tarik gravitasinya, di sanalah semua penantian kita berakhir, meski terkadang sebuah impian harus dipaksa lenyap.

Tak ada masalah dalam kegiatan yang telah biasa ku jalani beberapa bulan ini sebenarnya. Tak ada jadwal yang berubah dari biasanya. Pagi dengan rutinitasku di kampus dan beberapa bangku sekolah, siang dengan waktu waktu lengang yang nyaris tak pernah terasa senggang, sore dengan kebersamaan berbagi cerita dan pengalaman, dan malam hilang dalam pejam yang padam. Hanya saja sejak saat itu, saat ibu mulai melepaskan salam takdhim telapak tanganku satu tahun lalu. Aku mulai dipaksa perlahan bagaimana mempermainkan sebuah rasa. Memainkan hati sendiri, merasakan pedihnya dan menikmati sukanya.

....

Umi berapa tahun nanti di sana?

Jumat, 17 Februari 2012

Ustadz

Serumah dengan seorang ustadz ternyata mulai membawa perubahan dalam hidupku. Sama denganku, ia juga selalu mempunyai waktu kosong di tiap pagi, setelah sedikit aktivitas-aktivitas aneh untuk mengawali pagi. Kami hidup di kamar masing-masing dalam rumah berisi lima kamar ini. Jadilah aktivitas pagi kecil kami adalah membersihkan seluruh sudut rumah besar ini. Ustadz itu juga yang mempelopori kegiatan aneh ini. Patut ku sematkan perisai di songkok hitamnya yang bersahaja itu, karena telah berhasil membangunkan aku dan tiga temanku  yang lain dengan aktivitas aneh aneh ini. Selalu tertawa yang spontan merespon putaran memori lalu yang terkadang tiba tiba datang di sela lamunanku. Bagaimana tidak? Hidupku hanya seperti ini, kawan. tak lebih dari transaksi udara dengan siapapun dan apapun di sekitarku sebagai nasabahnya. Melewati waktu kosong, mengisinya, dan menemukan waktu kosong kembali. Lagi lagi hanya kosong yang bisa ku jamah dan yang bisa ku temukan. Dan yang lebih membuatku kosong adalah ketika aku mengisi kekosongan kekosongan itu dan aku masih saja merasa kosong.
Tapi tidak, sejak kedatangan ustadz muda itu di tengah kami.
------
"Lang, musholla umum di sini paling deket sebelah mana?"
Aku yang sedang serius dengan kesibukanku dalam sebuah kekosongan sedikit tersentak dengan pertanyaan orang baru ini. Terpaksa harus ku hentikan sejenak tanganku dari rangkaian maket bangunan rancanganku untuk menyambut pertanyaannya. Sungguh, dalam hati, aku pun tak tahu harus menjawab bagaimana. Bukan karena aku tak tahu dimana letak bangunan yang biasa disebut musholla yang ada di komplek sini, tapi mendengar kata umum, benar benar membuatku kesulitan menjawabnya.

Jumat, 06 Januari 2012

Mesin Jahit

Sudah lebih dari jumlah umurku sekarang, mesin jahit tua itu menemani ibuku. Menemani hari hari ibu yang tak pernah sepi oleh nada yang tercipta dari sentuhan telapak kakinya. Suaranya seringkali membuat tidur malamku dalam marah tertahan. Bukan ibu, hanya sampai kapan aku hanya bisa seperti ini. Hanya mewarnai malamku dengan marah yang terungkap lewat dengkur yang dibuat buat agar ibuku segera mengakhiri harinya, dan sejenak membiarkan mesin jahit itu merindu telapak kakinya. Dan kembali menyentuhku, memeluk malamku yang  telah seharian menahan cemburu pada lempeng penjejak mesin jahit itu.

Tidak ada siapapun di rumah ini selain mesin jahit tua itu, ibuku, dan aku sendiri dengan segala keterbatasanku. Seringkali ingin ku bakar mesin jahit butut legam itu, bahkan warnanya tak bisa ku jelaskan lagi selain dingin yang sangat setiap aku menyentuh salah satu empat kakinya. Tapi tanpanya aku tak kan bisa bertahan merasakan kehidupan meski hanya dalam sekotak kamar yang selalu ku tempati setiap waktu, setiap detik dalam nafasku.

Aku tak seperti teman temanku, bekejar-kejaran bermain bersama, meloncat girang sambil lancar melafalkan nada-nada lagu, teman-temanku yang hanya bisa ku kenal dari kejauhan lewat jendela kamarku yang bisa ku buka tutup sesuka hati. Aku tak peduli dengan ejekan teman temanku yang terkadang membuatku meneteskan beberapa bulir dari mataku yang tak bening ini.
Kamu cantik, begitu kata ibu padaku setiap kali menimangku sebelum membawaku menemaninya mengantarkan pesanan jahitan. Mungkin milik ibu ibu yang kadang menemani ibuku bercengkerama hingga ibuku menyerahkan selembar kertas kecil yang bertuliskan angka angka, dan saat itu selalu ku lihat ibuku mengakhiri percakapannya dengan anggukan takdhim.

Aku hanya bisa tersenyum di balik bibir sumbingku yang selamanya akan sumbing seperti ini, melihat mesin jahit kesayangan ibu. Dia tak pernah mengeluh sampai membuat ibuku akan kesulitan menserviskannya ke tukang mesin. Ingin ku gantikan ibuku menggerakkan lempeng hitam mesin jahit itu.
Pernah sekali aku melakukannya, ku seret paksa tubuhku yang tak lengkap ini. Sungguh tampak sangat ganjil Kawan, dengan tubuh yang tak lebih besar dari guling besar milik ibu dan sepasang kaki dengan ukuran ranting pohon beringin tengah balai desa kami, ku seret pelan bertopang pada tanganku yang tak bisa lurus. Sungguh sangat senang diriku saat akhirnya aku bisa menyentuh lempeng hitam itu, bagian paling vital mesin jahit pahlawan ibuku. Ku gerakkan pelan, sangat pelan sambil ku rasakan dinginnya lewat telapak tanganku yang selama ini hanya mengenal kehangatan ibu. Meski tubuhku mulai bergetar karena merasa kedinginan, tapi tak pernah ku lunturkan semangatku untuk agar malam itu aku bisa menggantikan sepasang kaki ibu.
Ku beranikan menekannya lebih kencang hingga menimbulkan suaranya yang biasa ku dengar setiap malam.
juk ujuk ujuk ujuk,
Aku tertawa riang mendengarnya, sungguh berbeda rasanya ketika aku hanya mendengarnya tanpa menyentuhnya seperti ini. Dan semakin semangat mengerakkanya lebih cepat dan lebih cepat.
Namun, mesin itu tiba tiba berhenti, tak bisa ku gerakkan lagi di saat aku berada di puncak semangatku. Ku tekan paksa dan terus ku paksa, tapi tetap tak bisa.