Kamis, 21 Juli 2011

Nishfu Sya'ban..

"Assalamualaikum," terdengar suara agak berat dari seberang sana
"alaykumussalam," ku jawab asal. ada yang menyesak di dada setiap terdengar suara ini.
"ukhti udah melihat lukisanNya malam ini?"
"udah," jawabku enggan
terjadi jeda beberapa saat. disusul hembusan nafas berat milik seseorang yang sekarang sedang berbincang denganku.
"nishfu syaban kali ini, saya sangat bersyukur pada Allah."
terjadi jeda lagi.
aku tetap bergeming dengan dan dalam diamku.
Jeda kali ini agak lama. Hingga rampung beberapa lembar buku yang sedang ku baca ini.

"Saya boleh minta sebuah permintaan?"
Astaghfirullah, ucapku dalam hati. Perih menahan beberapa tingkah ikhwan satu ini yang menjengkelkan hati.
"Apa akh?"
"Ukhti ke loteng lagi ya, kita lihat lukisanNya bareng"
Nyaris meledak amarahku, tapi ku tahan lagi entah yang ke berapa kali.
"Ok, tapi saya ogah lihat bulan bareng antum."
Ku langkahkan kaki menaiki anak anak tangga menuju loteng rumah. Tak ku hiraukan lagi, selularku masih bernyawa atau bisu, aku tak peduli. Yang ku mau saat itu, hanya agar segera duduk dengan dagu senyawa dengan bingkai jendela loteng rumahku. Beku.


"Subhanallah," ucapku lirih selirih hembusan angin yang menyentuh pipiku lewat bingkai jendela loteng rumahku itu.
Padang rembulan, cerah. Warnanya mengingatkanku pada sirup buatan eyang tadi sore, lembut lemon mampu menjelma dalam sinar lukisanMu, Allah.
Ku tumpukan daguku di atas kedua lenganku, tertata rapi di salah sisi bingkai jendela.
Ups, baru ku sadari, aku telah lama membiarkan benda dalam genggamanku dalam tak abaiku.
"Assalamu'alaikum,"
"Alaykumussalam, ukhti udah di depan logam langit?"
Aku tersenyum mendengar sebutannya kali ini untuk bulan terang di depanku itu.
"indah,"
"Walau saya tak bisa melihat ukhti saat ini, tapi ukhti lebih indah dari logam langit itu. Saya yakin,"
Ku hembuskan nafas panjang sangat berat, sengaja ku tunjukkan pada ikhwan ini. Lalu dengan cepat ku tekan tombol henti dari pembicaraan di layar ponselku.

Aku sangat membenci kata kata seperti itu, dari siapapun, yang ditujukan untukku. Dalam keadaan apapun. Bercanda sekalipun, hanya mungkin responsku agak ringan.

Tak lama, ponselku berteriak lagi.

Ku pandangi ponselku nanar. Dan segera ku tinggalkan jejak langkah menuruni anak tangga. Ada setitik bulir bening yang hangat menuruni pipiku bersama pelan kakiku menuruni anak tangga. Maafkan aku, akhi.

Nishfu sya’ban kali ini, sebenarnya aku ingin mengakhiri segala sikapmu dengan maafku. Tapi sayang kau datang lebih awal dari skenarioku, karena Allah telah menyiapkan skenarioNya seperti ini sejak lalu, dan aku tak bisa apa apa lagi sekarang kecuali hannya membecimu, akh.

Tak ada lagi menit yang mampu memperbaiki keadaan menyebalkan ini kecuali saat saat milik bangku. Nanti setelah empat puluh lima hari berlalu, mengusung hari besar. Mungkin.

Ku rebahkan tubuhku seiring gumam takdhim kepada Sang Pengalir nafas dalam detakku.

oOo

Tok tok tok, “neng,”
Ku kerjapkan mata, bangun dari tidurku. Terdengar suara adik laki lakiku di balik pintu. Aku tersenyum, Alhamdulillah, akhirnya kini giliran dia membangunkanku. Tahajjud malam.
Tok tok tok, “neng,” agak keras pintu kamarku diketuknya.
“Ya,” jawabku segera dan beranjak mendekati daun kayu coklat itu.
Ku longokkan kepalaku seraya menyunggingkan senyum pada adikku.
“Alhamdulillah, akhirnya kamu bisa juga bangun lebih awal dari kakak. Makasih ya, udah dibangunin”
Tapi yang ku lihat dari wajahnya bukan seperti biasa. Manyun dan seakan menyimpan sesuatu.
“Ayo kak,” ucapnya seraya menarik tanganku, membawa tubuhku keluar kamar, dengan gerakannya yang sangat cepat, ia memboncengku di atas sepeda motornya.
Ku turunkan tubuhku dari sepeda motornya. Ada apa sih? Panik banget adikku ini.
“Bentar, kakak ambil mukena dulu. Kamu mau ngajakin kakak tahajjudan di masjid akbar kah? Kenapa kamu panik banget sih dek?”
“Liat jam tangan kakak, pukul berapa sekarang?”
Ku singkapkan lengan bajuku, tak ada penunjuk waktu disana. Ku perlihatkan pada adikku.
“Hmmhh, sekarang masih jam setengah dua belas kak. Udah deh neng, naek aja pean”
“Berarti kamu belum tidur? Trus mau ngapain ngajakin keluar malem malem gini.”
“Angga kritis, sekarang dia di rumah sakit. Ayo kak, cepetan.”
Aku terpaku dalam sekejap, dan segera ku berlari ke kamar meraih mukena, tasbih, dan sejadahku. Tapi kembali aku tersadar. Duduk di bibir ranjang. Beku. Aku sadar, ga ada hubungannya denganku, kan.
Suara derap langkah adikku mencairkan bekuku tiba tiba. Tak ada daya lagi, saat dia menarik tanganku lagi.

oOo

2 komentar: