Aku hanya terpaku, bergeming dalam diamku, menatap nanar sepasang pintu di depanku. Tak tahu harus bagaimana mendefinisikan galau hatiku saat ini.
Aku tak merasa tegang, tapi tak tahu, aku masih tercekat dengan keadaan ini. Aku hanya berusaha mengendalikan lisanku untuk tetap menyebut namaNya dan nama utusanNya di tengah keadaan yang sulit lagi ku kendalikan ini. Emosiku sudah tak bisa lagi ditafsiri dengan hanya melihatku terduduk di kursi kursi tunggu yang sangat dingin ku rasa saat ini.
Aku masih tetap menunggu datangnya saat sepasang pintu kaca buram depanku ini terbuka dengan kabar kabarnya yang menyenangkan. Saat yang hanya Allah tahu bagaimana kehendakNya. Saat yang semakin membuatku kesulitan sendiri mengerti apa yang harusnya ku rasa saat ini.
“Dek, anter kakak pulang aja yuk!”
Terdengar hembusan nafas berat dari lawan bicaraku ini. “Tadi ia hanya mengirim sms, ajak kakak ke rumah sakit ini. Saat itu juga.”
Namun, tak ada kata yang harus ku ucapkan. Kami hanya berkecamuk dalam diam hingga beberapa saat.
Tak ada yang bisa ku lakukan lagi, kecuali hanya menyerahkan semuanya pada Allah. Ku sebut namaNya pelan tanpa henti. Aku sama sekali tak punya daya, Allah.
“Tapi aku tak menghiraukan sms itu langsung. Aku hanya tak mau kegiatanku tadi harus terputus. Maaf kak, hingga teman Angga nelpon aku. Angga sedang kritis di ICU.”
Aku menyimaknya dalam diam. Terbelalak sejenak. Dan kembali ku kembalikan diriku dalam dzikirNya. Berikan kami yang terbaik bagi kami, Allah.
Aku hanya tak ingin menjadi teman yang jahat bagi siapapun, termasuk Angga. Allah menjelmakan titisan Yusuf dalam diri Angga. Tapi aku tak mampu menjadi siapapun untuk orang yang sama sekali tak ku kenal kecuali hanya dalam diskusi diskusi kampus. Allah meletakkan kemampuan intelektual yang mencengangkan bagiku dalam dirinya. Tapi aku tak mau jika makhluk Allah manapun menjadikanku penghambat dalam
penghambaan padaNya. Termasuk Angga.
Aku tak menginginkan apapun, setidaknya untuk saat ini, segala hal yang berhubungan dengan kebanyakan orang menyebutnya cinta. Aku hanya melihat cinta nyata dariNya. Aku tak bisa menerima jika siapapun menyebut cintaNya untuk makhlukNya.
Dan aku tak mau jika tentang cinta ini, membuat kami tak mampu berkomunikasi lagi dengan baik. Menjadikan kami hamba yang durhaka. Dan menyebabkanku tak bisa menghargai makhluk Allah yang sangat ku kagumi ini.
Kacamataku buram.
“Ehm, Anda saudari Nana?”
“Iya dok,” ku dongakkan kepalaku, mengusir tunduk yang telah lama bersamaku.
“Pasien ingin bertemu dengan Anda, silakan”
Aku hanya terdiam. Tak segera beranjak tapi aku juga tak yakin dalam dudukku.
“Kak,” seru adikku.
Ku langkahkan kakiku menemuinya yang kini sedang tergeletak di atas dipan serba putih.
“Assalamu’alaikum,” salamku seketika saat Angga menoleh ke arahku.
“Alaykumussalam wa rahmatullah wa barakatuh,” jawabnya dengan senyum.
Tak ada yang aneh dengan suaranya. Tak ada yang berbeda dengan suara suara lantangnya di tengah diskusi. Ringan penuh wibawa, tak ada serak ataupun sengau di sana.
Kami hilang dalam diam. Tak ada percakapan, tak ada suara apapun kecuali wibawa AC yang arogan. Perawat di sampingku memberiku isyarat agar aku segera keluar. Aku mengangguk. Tapi Angga malah berusaha menggerakkan badannya. Berusaha mendudukkan tubuhnya yang mungkin telah lama terbaring di sana. Membuat perawat tadi agak panik dan membuatku mengurungkan niatku untuk segera beranjak dari situ.
Angga memintaku membuka lemari besar yang terletak di pojok ruang itu. Ku turuti saja apa maunya, tak tega dengan apa yang ku lihat pada dirinya saat ini. Tak ku ingat sama sekali segala perbuatannya kepadaku yang sangat sering menjengkelkan emosiku.
Kemudian ia memberi isyarat untuk mengambil kotak yang terletak di laci paling atas di lemari itu. Ku bawa kotak itu mendekat ke arah ranjang yang sedang dikuasainya saat ini.
Tapi belum sempat aku menanyakan apa isi kotak itu atau apapun tentang kotak yang sedang ku pegang ini. Kepalanya telah menunduk dalam, dan perawat tadi menyuruhku untuk meninggalkan ruangan itu. Perawat yang lain sibuk memanggil dokter yang tadi menangani Angga. Jiwa ruangan ini seakan sedang bertaruh nafas atau tanah. Ku lihat semuanya dalam panik yang kembali membuatku semakin tak bisa berbicara. Aku hanya diam.
Keluar dari ruangan itu, adikku menuntunku duduk di deretan kursi abu abu yang tadi ku duduki bersamanya.
Ku tatap nanar kembali sepasang pintu yang telah membuat ceritaku dengan Angga bertambah. Tak sekedar sms, debat, dan diskusi. Kami telah bercengkerama dalam diam dan senyap yang berakhir kepanikan orang orang di sekitar kami.
Aku terus melalui hari ini hingga akhir dalam tatap nanar pada sepasang pintu buram di depanku. Dalam diamku dan dalam emosiku yang tak bisa ku pahami.
oOo
Jumat, 29 Juli 2011
Kamis, 21 Juli 2011
Nishfu Sya'ban..
"Assalamualaikum," terdengar suara agak berat dari seberang sana
"alaykumussalam," ku jawab asal. ada yang menyesak di dada setiap terdengar suara ini.
"ukhti udah melihat lukisanNya malam ini?"
"udah," jawabku enggan
terjadi jeda beberapa saat. disusul hembusan nafas berat milik seseorang yang sekarang sedang berbincang denganku.
"nishfu syaban kali ini, saya sangat bersyukur pada Allah."
terjadi jeda lagi.
aku tetap bergeming dengan dan dalam diamku.
Jeda kali ini agak lama. Hingga rampung beberapa lembar buku yang sedang ku baca ini.
"Saya boleh minta sebuah permintaan?"
Astaghfirullah, ucapku dalam hati. Perih menahan beberapa tingkah ikhwan satu ini yang menjengkelkan hati.
"Apa akh?"
"Ukhti ke loteng lagi ya, kita lihat lukisanNya bareng"
Nyaris meledak amarahku, tapi ku tahan lagi entah yang ke berapa kali.
"Ok, tapi saya ogah lihat bulan bareng antum."
Ku langkahkan kaki menaiki anak anak tangga menuju loteng rumah. Tak ku hiraukan lagi, selularku masih bernyawa atau bisu, aku tak peduli. Yang ku mau saat itu, hanya agar segera duduk dengan dagu senyawa dengan bingkai jendela loteng rumahku. Beku.
"Subhanallah," ucapku lirih selirih hembusan angin yang menyentuh pipiku lewat bingkai jendela loteng rumahku itu.
Padang rembulan, cerah. Warnanya mengingatkanku pada sirup buatan eyang tadi sore, lembut lemon mampu menjelma dalam sinar lukisanMu, Allah.
Ku tumpukan daguku di atas kedua lenganku, tertata rapi di salah sisi bingkai jendela.
Ups, baru ku sadari, aku telah lama membiarkan benda dalam genggamanku dalam tak abaiku.
"Assalamu'alaikum,"
"Alaykumussalam, ukhti udah di depan logam langit?"
Aku tersenyum mendengar sebutannya kali ini untuk bulan terang di depanku itu.
"indah,"
"Walau saya tak bisa melihat ukhti saat ini, tapi ukhti lebih indah dari logam langit itu. Saya yakin,"
Ku hembuskan nafas panjang sangat berat, sengaja ku tunjukkan pada ikhwan ini. Lalu dengan cepat ku tekan tombol henti dari pembicaraan di layar ponselku.
Aku sangat membenci kata kata seperti itu, dari siapapun, yang ditujukan untukku. Dalam keadaan apapun. Bercanda sekalipun, hanya mungkin responsku agak ringan.
Tak lama, ponselku berteriak lagi.
Ku pandangi ponselku nanar. Dan segera ku tinggalkan jejak langkah menuruni anak tangga. Ada setitik bulir bening yang hangat menuruni pipiku bersama pelan kakiku menuruni anak tangga. Maafkan aku, akhi.
Nishfu sya’ban kali ini, sebenarnya aku ingin mengakhiri segala sikapmu dengan maafku. Tapi sayang kau datang lebih awal dari skenarioku, karena Allah telah menyiapkan skenarioNya seperti ini sejak lalu, dan aku tak bisa apa apa lagi sekarang kecuali hannya membecimu, akh.
Tak ada lagi menit yang mampu memperbaiki keadaan menyebalkan ini kecuali saat saat milik bangku. Nanti setelah empat puluh lima hari berlalu, mengusung hari besar. Mungkin.
Ku rebahkan tubuhku seiring gumam takdhim kepada Sang Pengalir nafas dalam detakku.
oOo
Tok tok tok, “neng,”
Ku kerjapkan mata, bangun dari tidurku. Terdengar suara adik laki lakiku di balik pintu. Aku tersenyum, Alhamdulillah, akhirnya kini giliran dia membangunkanku. Tahajjud malam.
Tok tok tok, “neng,” agak keras pintu kamarku diketuknya.
“Ya,” jawabku segera dan beranjak mendekati daun kayu coklat itu.
Ku longokkan kepalaku seraya menyunggingkan senyum pada adikku.
“Alhamdulillah, akhirnya kamu bisa juga bangun lebih awal dari kakak. Makasih ya, udah dibangunin”
Tapi yang ku lihat dari wajahnya bukan seperti biasa. Manyun dan seakan menyimpan sesuatu.
“Ayo kak,” ucapnya seraya menarik tanganku, membawa tubuhku keluar kamar, dengan gerakannya yang sangat cepat, ia memboncengku di atas sepeda motornya.
Ku turunkan tubuhku dari sepeda motornya. Ada apa sih? Panik banget adikku ini.
“Bentar, kakak ambil mukena dulu. Kamu mau ngajakin kakak tahajjudan di masjid akbar kah? Kenapa kamu panik banget sih dek?”
“Liat jam tangan kakak, pukul berapa sekarang?”
Ku singkapkan lengan bajuku, tak ada penunjuk waktu disana. Ku perlihatkan pada adikku.
“Hmmhh, sekarang masih jam setengah dua belas kak. Udah deh neng, naek aja pean”
“Berarti kamu belum tidur? Trus mau ngapain ngajakin keluar malem malem gini.”
“Angga kritis, sekarang dia di rumah sakit. Ayo kak, cepetan.”
Aku terpaku dalam sekejap, dan segera ku berlari ke kamar meraih mukena, tasbih, dan sejadahku. Tapi kembali aku tersadar. Duduk di bibir ranjang. Beku. Aku sadar, ga ada hubungannya denganku, kan.
Suara derap langkah adikku mencairkan bekuku tiba tiba. Tak ada daya lagi, saat dia menarik tanganku lagi.
oOo
"alaykumussalam," ku jawab asal. ada yang menyesak di dada setiap terdengar suara ini.
"ukhti udah melihat lukisanNya malam ini?"
"udah," jawabku enggan
terjadi jeda beberapa saat. disusul hembusan nafas berat milik seseorang yang sekarang sedang berbincang denganku.
"nishfu syaban kali ini, saya sangat bersyukur pada Allah."
terjadi jeda lagi.
aku tetap bergeming dengan dan dalam diamku.
Jeda kali ini agak lama. Hingga rampung beberapa lembar buku yang sedang ku baca ini.
"Saya boleh minta sebuah permintaan?"
Astaghfirullah, ucapku dalam hati. Perih menahan beberapa tingkah ikhwan satu ini yang menjengkelkan hati.
"Apa akh?"
"Ukhti ke loteng lagi ya, kita lihat lukisanNya bareng"
Nyaris meledak amarahku, tapi ku tahan lagi entah yang ke berapa kali.
"Ok, tapi saya ogah lihat bulan bareng antum."
Ku langkahkan kaki menaiki anak anak tangga menuju loteng rumah. Tak ku hiraukan lagi, selularku masih bernyawa atau bisu, aku tak peduli. Yang ku mau saat itu, hanya agar segera duduk dengan dagu senyawa dengan bingkai jendela loteng rumahku. Beku.
"Subhanallah," ucapku lirih selirih hembusan angin yang menyentuh pipiku lewat bingkai jendela loteng rumahku itu.
Padang rembulan, cerah. Warnanya mengingatkanku pada sirup buatan eyang tadi sore, lembut lemon mampu menjelma dalam sinar lukisanMu, Allah.
Ku tumpukan daguku di atas kedua lenganku, tertata rapi di salah sisi bingkai jendela.
Ups, baru ku sadari, aku telah lama membiarkan benda dalam genggamanku dalam tak abaiku.
"Assalamu'alaikum,"
"Alaykumussalam, ukhti udah di depan logam langit?"
Aku tersenyum mendengar sebutannya kali ini untuk bulan terang di depanku itu.
"indah,"
"Walau saya tak bisa melihat ukhti saat ini, tapi ukhti lebih indah dari logam langit itu. Saya yakin,"
Ku hembuskan nafas panjang sangat berat, sengaja ku tunjukkan pada ikhwan ini. Lalu dengan cepat ku tekan tombol henti dari pembicaraan di layar ponselku.
Aku sangat membenci kata kata seperti itu, dari siapapun, yang ditujukan untukku. Dalam keadaan apapun. Bercanda sekalipun, hanya mungkin responsku agak ringan.
Tak lama, ponselku berteriak lagi.
Ku pandangi ponselku nanar. Dan segera ku tinggalkan jejak langkah menuruni anak tangga. Ada setitik bulir bening yang hangat menuruni pipiku bersama pelan kakiku menuruni anak tangga. Maafkan aku, akhi.
Nishfu sya’ban kali ini, sebenarnya aku ingin mengakhiri segala sikapmu dengan maafku. Tapi sayang kau datang lebih awal dari skenarioku, karena Allah telah menyiapkan skenarioNya seperti ini sejak lalu, dan aku tak bisa apa apa lagi sekarang kecuali hannya membecimu, akh.
Tak ada lagi menit yang mampu memperbaiki keadaan menyebalkan ini kecuali saat saat milik bangku. Nanti setelah empat puluh lima hari berlalu, mengusung hari besar. Mungkin.
Ku rebahkan tubuhku seiring gumam takdhim kepada Sang Pengalir nafas dalam detakku.
oOo
Tok tok tok, “neng,”
Ku kerjapkan mata, bangun dari tidurku. Terdengar suara adik laki lakiku di balik pintu. Aku tersenyum, Alhamdulillah, akhirnya kini giliran dia membangunkanku. Tahajjud malam.
Tok tok tok, “neng,” agak keras pintu kamarku diketuknya.
“Ya,” jawabku segera dan beranjak mendekati daun kayu coklat itu.
Ku longokkan kepalaku seraya menyunggingkan senyum pada adikku.
“Alhamdulillah, akhirnya kamu bisa juga bangun lebih awal dari kakak. Makasih ya, udah dibangunin”
Tapi yang ku lihat dari wajahnya bukan seperti biasa. Manyun dan seakan menyimpan sesuatu.
“Ayo kak,” ucapnya seraya menarik tanganku, membawa tubuhku keluar kamar, dengan gerakannya yang sangat cepat, ia memboncengku di atas sepeda motornya.
Ku turunkan tubuhku dari sepeda motornya. Ada apa sih? Panik banget adikku ini.
“Bentar, kakak ambil mukena dulu. Kamu mau ngajakin kakak tahajjudan di masjid akbar kah? Kenapa kamu panik banget sih dek?”
“Liat jam tangan kakak, pukul berapa sekarang?”
Ku singkapkan lengan bajuku, tak ada penunjuk waktu disana. Ku perlihatkan pada adikku.
“Hmmhh, sekarang masih jam setengah dua belas kak. Udah deh neng, naek aja pean”
“Berarti kamu belum tidur? Trus mau ngapain ngajakin keluar malem malem gini.”
“Angga kritis, sekarang dia di rumah sakit. Ayo kak, cepetan.”
Aku terpaku dalam sekejap, dan segera ku berlari ke kamar meraih mukena, tasbih, dan sejadahku. Tapi kembali aku tersadar. Duduk di bibir ranjang. Beku. Aku sadar, ga ada hubungannya denganku, kan.
Suara derap langkah adikku mencairkan bekuku tiba tiba. Tak ada daya lagi, saat dia menarik tanganku lagi.
oOo
Senin, 18 Juli 2011
Langganan:
Postingan (Atom)