Tak pernah sekalipun, takut itu diajarkan pada kami. Dan untuk pertama kali Laysa berkali meleleh dalam parau harapan. Ia tak merangkainya sendiri, tapi sepenuhnya ialah sendiri. Untuk pertama kalinya ia meleleh terlalu dan teramat takut paraunya hancur menjadi bisu yang serak. Ia sepenuhnya sendiri,
ada dan tiadaku bukanlah apa
namun tanpa adaMu
apalah aku
hanya tak ada
Nyaris usai, fajar bergemuruh pelan. Dalam harap Laysa tak akan ada usai.
Mengalir meninggalkan jejak lembab berharap tak mengering. Meski hanya di hati yang tak bisa dimengerti.
Senin, 05 Desember 2011
Minggu, 13 November 2011
Sebelas November Duaribusebelas
11-11-11
November 11, 2011
Terang, tapi tidak untuk satu teman Laysa yang sekarang lebih memilih untuk diam. Sama sekali diam setelah ia dengan ceria mengabarkan 'terang' ini. Ia ada di hadapan Laysa sekarang, tapi betapapun tak akan bisa ia memeluknya dan sampai kapanpun. Ia dihadapannya dan tak akan bisa menyentuhnya. Tapi setidaknya, ia masih bisa puas memandangnya, bercerita tentang harinya yang tak begitu sempurna, bercengkerama panjang meski hanya dalam hati.
Usai 1 tahun 1 bulan 1 hari Laysa hidup di gubuk megah ini. Hanya ada kebersamaan di dalamnya, yang Laysa tak bisa lancar mengejanya dalam kata untuk keindahan itu. Terang itu di hadapannya, tapi tidak untuk satu teman Laysa. Ia masih saja diam. Mungkin, batin Laysa, ia juga sedang memandangnya.
Tak ada rintik malam ini. Merelakan sejenak untuk 'terang' yang menguasai langit malam ini. Jelas menyatu dan terurai pada siapa saja yang memandangnya. Menanti usai yang tak segera memulai, apakah akan terus seperti ini kami berurai dalam rinai-rinai yang Laysa sendiri tak temukan. Hapus, jika bagi kami terang ini lebih indah. Atau menunggu sependar kilat kuat kembali bersanding. Laysa masih tetap ada di hadapannya. Menanti usai yang tak kunjung memulai.
Hari ini, nyawanya sudah 1 tahun 1 bulan 1 hari bersama kawanan jiwa sepertinya, para pencari dan pemimpi. Namun, satu temannya mungkin sedang menari dengan ranahnya sendiri, yang Laysa hanya bisa merasakannya tanpa harus mengetahuinya.
Terang,
tapi tidak untuk satu teman Laysa.
November 11, 2011
Terang, tapi tidak untuk satu teman Laysa yang sekarang lebih memilih untuk diam. Sama sekali diam setelah ia dengan ceria mengabarkan 'terang' ini. Ia ada di hadapan Laysa sekarang, tapi betapapun tak akan bisa ia memeluknya dan sampai kapanpun. Ia dihadapannya dan tak akan bisa menyentuhnya. Tapi setidaknya, ia masih bisa puas memandangnya, bercerita tentang harinya yang tak begitu sempurna, bercengkerama panjang meski hanya dalam hati.
Usai 1 tahun 1 bulan 1 hari Laysa hidup di gubuk megah ini. Hanya ada kebersamaan di dalamnya, yang Laysa tak bisa lancar mengejanya dalam kata untuk keindahan itu. Terang itu di hadapannya, tapi tidak untuk satu teman Laysa. Ia masih saja diam. Mungkin, batin Laysa, ia juga sedang memandangnya.
Tak ada rintik malam ini. Merelakan sejenak untuk 'terang' yang menguasai langit malam ini. Jelas menyatu dan terurai pada siapa saja yang memandangnya. Menanti usai yang tak segera memulai, apakah akan terus seperti ini kami berurai dalam rinai-rinai yang Laysa sendiri tak temukan. Hapus, jika bagi kami terang ini lebih indah. Atau menunggu sependar kilat kuat kembali bersanding. Laysa masih tetap ada di hadapannya. Menanti usai yang tak kunjung memulai.
Hari ini, nyawanya sudah 1 tahun 1 bulan 1 hari bersama kawanan jiwa sepertinya, para pencari dan pemimpi. Namun, satu temannya mungkin sedang menari dengan ranahnya sendiri, yang Laysa hanya bisa merasakannya tanpa harus mengetahuinya.
Terang,
tapi tidak untuk satu teman Laysa.
Kamis, 03 November 2011
Riak..
Ia mainkan saja kedua kakinya, meski dangkal Laysa tahu kakinya kini mampu membedakan dingin dan sejuk setelah sekian lama ia menari bersama langkah langkahnya yang cepat dan lebar.
Riaknya semakin berirama ketika tiga pasang kaki menyetujui salam Laysa.
Laysa hanya tersenyum, senang dan bahagia ketiga temannya kini sedang bersamanya. Ia tak peduli apakah mereka seirama.
Di bawah rindang hutan belantara yang sama sekali tak rapi ini, Laysa menemukan setitik kesejukan yang terurai jelas dalam aliran air yang sedang bermain dengannya sekarang. Hanya sampai batas mata kaki, tapi setidaknya menikmati semata kaki kesejukan tersebut bersama tiga sahabat terbaiknya selama ini.
Ia pejamkan mata, menyimpan beningnya aliran air ini disana, menyimpannya tanpa ikat yang membebat. Menyimpannya perlahan seiring pelannya riak itu menyapa belantara luas.
Dan di oagi yang masih redup ini, Laysa menyusuri hutan, merasakan aliran riak air di kakinya, mendengarkannya bersama sahabat sahabatnya..
Riaknya semakin berirama ketika tiga pasang kaki menyetujui salam Laysa.
Laysa hanya tersenyum, senang dan bahagia ketiga temannya kini sedang bersamanya. Ia tak peduli apakah mereka seirama.
Di bawah rindang hutan belantara yang sama sekali tak rapi ini, Laysa menemukan setitik kesejukan yang terurai jelas dalam aliran air yang sedang bermain dengannya sekarang. Hanya sampai batas mata kaki, tapi setidaknya menikmati semata kaki kesejukan tersebut bersama tiga sahabat terbaiknya selama ini.
Ia pejamkan mata, menyimpan beningnya aliran air ini disana, menyimpannya tanpa ikat yang membebat. Menyimpannya perlahan seiring pelannya riak itu menyapa belantara luas.
Dan di oagi yang masih redup ini, Laysa menyusuri hutan, merasakan aliran riak air di kakinya, mendengarkannya bersama sahabat sahabatnya..
Minggu, 23 Oktober 2011
duadua oktober ..
Di atas selembar kertas
yang tergelar rapi di atas ubin
kami menari hanya dengan jari jari
memahami rasa
dalam indahnya hangat dan dingin
pedas
manis
asin...
berakhir dengan dingin
yang membeku dalam aliran air
kami masih menari
dalam irama tanpa notasi
hanya dengan jari jari..
yang tergelar rapi di atas ubin
kami menari hanya dengan jari jari
memahami rasa
dalam indahnya hangat dan dingin
pedas
manis
asin...
berakhir dengan dingin
yang membeku dalam aliran air
kami masih menari
dalam irama tanpa notasi
hanya dengan jari jari..
Kamis, 20 Oktober 2011
Rintik
Jatuh pertama,
tak mengena. tapi aku basah
dalam KalamMu yang
aku masih buta atasnya
aku basah
tak tahu kapan mengering
dan ku harap pun tak
yang aku paham
hitamku melebihi ramai jatuh ini
semakin basah
dan semakin aku buta atas
fatamorgana
ya, fatamorgana
hm, biar
ia menemui keberakhiran dalam
tenang pusara
rintik..
ia tak mengena. tapi aku basah
tak peduli ia seperti apa
aku masih buta
dan aku lebih suka menghitung
hitam
yang mampu kalahkan pasukan rintik sore ini
...
tak mengena. tapi aku basah
dalam KalamMu yang
aku masih buta atasnya
aku basah
tak tahu kapan mengering
dan ku harap pun tak
yang aku paham
hitamku melebihi ramai jatuh ini
semakin basah
dan semakin aku buta atas
fatamorgana
ya, fatamorgana
hm, biar
ia menemui keberakhiran dalam
tenang pusara
rintik..
ia tak mengena. tapi aku basah
tak peduli ia seperti apa
aku masih buta
dan aku lebih suka menghitung
hitam
yang mampu kalahkan pasukan rintik sore ini
...
Jelas
tak ada sibak gurun lagi
karena adanya
sejauh ujung pandangan
hanya tarian pasir kuning yang polos
jelas adanya,
tak peduli untuk apa
tapi mengapa selalu bertanya
hm,
tapi biarlah adanya
meski tanpa apa
lengang dalam tarian pasir
dan menari dalam irama gurun
karena adanya
sejauh ujung pandangan
hanya tarian pasir kuning yang polos
jelas adanya,
tak peduli untuk apa
tapi mengapa selalu bertanya
hm,
tapi biarlah adanya
meski tanpa apa
lengang dalam tarian pasir
dan menari dalam irama gurun
Selasa, 04 Oktober 2011
pertarungan tiup dan sepasang tangan kecil
Ia tiup mudah saja gubuk reyot rakitan sepasang tangan kecil
miring miring kesana kemari...
ambruk pun tak
tegak tak layak
tapi,
ini latihan bagi tangan kecil untuk
menyulam kembali helai helai irisan bambu abu
ada yang tak baik
antara tiup dan sepasang tangan
sepertinya ia hanya sedang bermain main,
dan sepasang tangan
hanya ingin kembali memeluk gubuknya
nyaris roboh,
biar tangan Besar yang patahkan tiup itu
jika ia berani main tipu...
sepasang tangan tak henti memilin
guratan bambu..
miring miring kesana kemari...
ambruk pun tak
tegak tak layak
tapi,
ini latihan bagi tangan kecil untuk
menyulam kembali helai helai irisan bambu abu
ada yang tak baik
antara tiup dan sepasang tangan
sepertinya ia hanya sedang bermain main,
dan sepasang tangan
hanya ingin kembali memeluk gubuknya
nyaris roboh,
biar tangan Besar yang patahkan tiup itu
jika ia berani main tipu...
sepasang tangan tak henti memilin
guratan bambu..
Kamis, 29 September 2011
Arca
Singkat, cepat
namun seiring rasa, telah jauh
bayangan alang alang tinggi itu
tersibak seketika
belum utuh memang, tapi ku
telah menangkap siluet arca dingin itu
tak seperti batu yang lain
ia punya sisi merah muda di beberapa rongganya,
hm,
indah,
namun langkah ini masih berharap kelanjutan
hingga arca itu utuh di mataku..
jiwaku..
namun seiring rasa, telah jauh
bayangan alang alang tinggi itu
tersibak seketika
belum utuh memang, tapi ku
telah menangkap siluet arca dingin itu
tak seperti batu yang lain
ia punya sisi merah muda di beberapa rongganya,
hm,
indah,
namun langkah ini masih berharap kelanjutan
hingga arca itu utuh di mataku..
jiwaku..
. . . .
Hanya bisa ku lihat punggungnya yang dibalut kaos oblong yang mulai lusuh. Renta karena mungkin termakan usia. Bapak tak pernah mengeluh dengan lingkaran lingakaran karet yang setiap hari dipeluknya itu. Menyiapkan semua perkakas sejak matahari masih enggan menampakkan sinarnya. Mengisi ember ember besar dengan air yang ditimbanya dari sumur tua di belakang rumah. Mengecek ketepatan pompa anginnya. Merapikan segala obeng dan kunci. Bapak mengerjakan semuanya dengan telaten, dan tak pernah ku dengar sedikitpun keluh kesah tentang pekerjaannya itu.
Hari ini masih dalam kejauhan, aku kembali ke beberapa tahun yang lalu, menyaksikannya dalam memori yang masih rapi. Segala hal yang sangat hidup dalam ketenangan, tak ada gejolak, datar dalam keramaian yang menentramkan.
Hari ini masih dalam kejauhan, mungkin beberapa langkah lagi, segera ku sentuh punggung tangan pemilik punggung itu.
Namun, pagi yang masih berselimut gelap ini tak memamerkan keramaian lalu, beberapa tahun lalu. Emper rumah bapak bersamaku dulu, kini bersih. Tak ada ember ember dan ban ban hitam pekat. Tak ada lagi truk truk yang berjajar membuat antrian. Tak ada lagi pelukan pelukan erat oleh bapak pada ban ban keras itu. Hingga mungkin aku sering terlupa olehnya. Pagi ini senyap dan masih gelap.
Ku sentuh dengan salam yang sedikit ku pelankan. Ia membiarkan punggung tangannya erat dalam genggamanku. Ku cium takdhim dalam diam.
"Bapak," ku sapa pelan dalam dekat yang tak terikat.
Bapak tersenyum dan memelukku erat.
Hari ini masih dalam kejauhan, aku kembali ke beberapa tahun yang lalu, menyaksikannya dalam memori yang masih rapi. Segala hal yang sangat hidup dalam ketenangan, tak ada gejolak, datar dalam keramaian yang menentramkan.
Hari ini masih dalam kejauhan, mungkin beberapa langkah lagi, segera ku sentuh punggung tangan pemilik punggung itu.
Namun, pagi yang masih berselimut gelap ini tak memamerkan keramaian lalu, beberapa tahun lalu. Emper rumah bapak bersamaku dulu, kini bersih. Tak ada ember ember dan ban ban hitam pekat. Tak ada lagi truk truk yang berjajar membuat antrian. Tak ada lagi pelukan pelukan erat oleh bapak pada ban ban keras itu. Hingga mungkin aku sering terlupa olehnya. Pagi ini senyap dan masih gelap.
Ku sentuh dengan salam yang sedikit ku pelankan. Ia membiarkan punggung tangannya erat dalam genggamanku. Ku cium takdhim dalam diam.
"Bapak," ku sapa pelan dalam dekat yang tak terikat.
Bapak tersenyum dan memelukku erat.
Senin, 26 September 2011
akhirnya
Selaksa warna tiba tiba hadir di pelupuk jiwa
dan akhirnya ia menemukan akhirnya
hanya satu sisi memang,
tapi disitulah penentu itu ada..
Tinta emas mungkin bukan dalam cerita ini
namun hitam kurasa terlalu pekat,
sepekat bongkah merah yang
harus menerima keberakhiran ini
dalam senyum
dan biarlah warna itu menafsiri dirinya
seperti warna lain yang biasa saja,
bukan seperti sebelumnya,
dalam tenang
dan akhirnya ia menemukan akhirnya
hanya satu sisi memang,
tapi disitulah penentu itu ada..
Tinta emas mungkin bukan dalam cerita ini
namun hitam kurasa terlalu pekat,
sepekat bongkah merah yang
harus menerima keberakhiran ini
dalam senyum
dan biarlah warna itu menafsiri dirinya
seperti warna lain yang biasa saja,
bukan seperti sebelumnya,
dalam tenang
Kamis, 22 September 2011
Masih Tentang,
tentang harapan,
saya masih dalam kata depan
tentang keinginan,
masih saja berkreasi tak keruan
tentang langkah,
lebih suka membuat sketsa
tentang masa,
seringkali tersadar setelah lewat jatah
tentang tujuan,
masih apik terekam dalam coretan
tentang parah,
ah sungguh kau tak tahu bahwa sungguhku selalu bergemuruh
beradu dengan peluh yang tak terbaca dalam raba
dan hanya Engkau yang tahu
tentang hasil,
yang sekalipun harapan dan keinginan itu hidup
dan masa yang tak pernah redup
serta tujuan yang sabar bertahan,
ia selalu mengerti tanpa usil.
saya masih dalam kata depan
tentang keinginan,
masih saja berkreasi tak keruan
tentang langkah,
lebih suka membuat sketsa
tentang masa,
seringkali tersadar setelah lewat jatah
tentang tujuan,
masih apik terekam dalam coretan
tentang parah,
ah sungguh kau tak tahu bahwa sungguhku selalu bergemuruh
beradu dengan peluh yang tak terbaca dalam raba
dan hanya Engkau yang tahu
tentang hasil,
yang sekalipun harapan dan keinginan itu hidup
dan masa yang tak pernah redup
serta tujuan yang sabar bertahan,
ia selalu mengerti tanpa usil.
Minggu, 04 September 2011
Korek api
"Sssstt, ready semua ni?" tanya labib sangat pelan pada tiga rekan misinya ini, berharap sang target tak bisa mengetahui agen rahasianya ini.
Tiga rekannya mengacungkan jempol tanda semuanya telah disiapkan sesuai planning yang ada. Namun Lala merasa kurang sreg dengan misinya yang satu ini, "kita telat nih, saya jadi serba salah rasanya"
Jumat, 26 Agustus 2011
Di 26
Alang alang meliuk
mengikuti aliran desah angin yang menari bersama malam
ia tak terlihat
namun siapapun merasakan kehadirannya.
Alang alang meliuk
berkali kali ia bermain dengan sentuhan angin yang meniup batangnya
putihnya tak berpendar dalam kegelapan
lembutnya mengakui tahtanya
walau malam sedang berkuasa
Alang alang meliuk
ia berdebat dengan angin malam
dan mulai menikmati kebersamaan itu
lenggok kanan dan lenggok kiri
memperindah aura alang alang
dan angin memahami itu semua
Alang alang meliuk
percikan air danau mengusik tenang alang
beringsut hujatan ke angin
ga bertanggung jawab
Alang alang meliuk
angin menegang
namun semuanya tetap lancar
hanya kebersamaan itu terpaksa melenyap
hilang tanpa jejak
(Kayu lipat, 26 ramadlan, 00:00)
mengikuti aliran desah angin yang menari bersama malam
ia tak terlihat
namun siapapun merasakan kehadirannya.
Alang alang meliuk
berkali kali ia bermain dengan sentuhan angin yang meniup batangnya
putihnya tak berpendar dalam kegelapan
lembutnya mengakui tahtanya
walau malam sedang berkuasa
Alang alang meliuk
ia berdebat dengan angin malam
dan mulai menikmati kebersamaan itu
lenggok kanan dan lenggok kiri
memperindah aura alang alang
dan angin memahami itu semua
Alang alang meliuk
percikan air danau mengusik tenang alang
beringsut hujatan ke angin
ga bertanggung jawab
Alang alang meliuk
angin menegang
namun semuanya tetap lancar
hanya kebersamaan itu terpaksa melenyap
hilang tanpa jejak
(Kayu lipat, 26 ramadlan, 00:00)
Kosong,
beberapa hari ini, laysa hanya dapat menemui kosong
ia sedang mencari sesuatu
namun berkali kali ia harus malu karena keliru,
laysa berkali kali keliru memahami yang dicarinya itu,
entah karena kosong itu,
ataukah kosong itu yang jadi anak anak ini.
berkali ia lalai, hingga mundur muncul waktu berikut
mungkin sekitar hitungan jari di salah satu genggamannya..
tak ada yang bisa ia lakukan lagi
kecuali hanya tetap melakukannya, walau waktunya bukan waktunya lagi.
laysa bukan tak tahu,
bukan pula lupa.
mungkin sebagian dari salahnya sendiri,
laysa lebih memilih untuk menanti waktu.
padahal jelas, waktu tak mau dinanti.
ia hanya ingin hidup sendiri.
dan sang waktu pun tetap bergeming dalam hatinya,
"kenapa kau salahkan diriku???
kau pun tahu aku gak mau ditunggu!!"
kata sang waktu pada khalayaknya, termasuk laysa
laysa kembali meneruskan pencariannya,
namun berkali beberapa hari ini,
ia hanya bertegur sapa dengan sang kosong yang masiiihh saja gemar dijumpainya tanpa sengaja itu.
namun malam membawanya terlelap dalam pencariannya yang penat.
laysa berdoa,
menangkupkan kedua telapak tangannya di hadapan wajahnya yang menunduk,
ya ALLAH, maha suci Engkau,
sesungguhnya hamba sebagian mereka yang dholim...
penuhi jiwaku dengan cintaMu, Allah...
ia sedang mencari sesuatu
namun berkali kali ia harus malu karena keliru,
laysa berkali kali keliru memahami yang dicarinya itu,
entah karena kosong itu,
ataukah kosong itu yang jadi anak anak ini.
berkali ia lalai, hingga mundur muncul waktu berikut
mungkin sekitar hitungan jari di salah satu genggamannya..
tak ada yang bisa ia lakukan lagi
kecuali hanya tetap melakukannya, walau waktunya bukan waktunya lagi.
laysa bukan tak tahu,
bukan pula lupa.
mungkin sebagian dari salahnya sendiri,
laysa lebih memilih untuk menanti waktu.
padahal jelas, waktu tak mau dinanti.
ia hanya ingin hidup sendiri.
dan sang waktu pun tetap bergeming dalam hatinya,
"kenapa kau salahkan diriku???
kau pun tahu aku gak mau ditunggu!!"
kata sang waktu pada khalayaknya, termasuk laysa
laysa kembali meneruskan pencariannya,
namun berkali beberapa hari ini,
ia hanya bertegur sapa dengan sang kosong yang masiiihh saja gemar dijumpainya tanpa sengaja itu.
namun malam membawanya terlelap dalam pencariannya yang penat.
laysa berdoa,
menangkupkan kedua telapak tangannya di hadapan wajahnya yang menunduk,
ya ALLAH, maha suci Engkau,
sesungguhnya hamba sebagian mereka yang dholim...
penuhi jiwaku dengan cintaMu, Allah...
Rabu, 24 Agustus 2011
O,
Judul ini mungkin terkesan 'singkat amat!', atau mungkin jika ada di sela percakapan maka batin pihak kedua 'gitu doang?'
Ya, silakan guncang imajinasi masing masing. Bagaimana kita menyikapi lingkaran kecil tanpa ujung itu, dan bagaimana kita membawanya berinteraksi dengan yang lainnya.
Ketika nafida menggunakan satu huruf itu dalam dialog langsung terkadang nafida tidak menemukan kesulitan berarti dalam percakapan itu. SekalipuN ada, percikan masalah itu akan segera berakhir dengan cepat.
Bayangin saja, ketika misalnya kamu bercerita tentang ketidaknyamananmu dengan sikap salah seorang teman, dan hanya ditanggapi dengan 'O,'
Ada banyak kemungkinan yang akan terjadi sesaat setelah sehuruf tanpa ujung itu meluncur dari lisan pihak kedua. Dan itu semua tergantung sifat masing masing.
Saya salah seorang yang bisa dibilang sering menggunakan satu huruf mujarab itu dalam sms communications, dan dari beberapa teman yang saya kirimi sms yang sangat singkat itu, kebanyakan menunjukkan respons yang tidak sangka sebelumnya.
Kemungkinan kemungkinan itu mungkin adalah sebagai berikut :
1. memutuskan hubungan komunikasi yang sedang asyik asyiknya,
misalnya dengan tidak membalas lagi sms sms sebelumnya dan mengakhiri tanpa ada salam perpisahan. Ini kalau dalam komunikasi langsung yang menggunakan sarana tidak langsuns. Yup, sms.
Atau tiba tiba diam dan tidak lagi melanjutkan ceritanya, jika komunikasi itu berlangsung secara langsung tanpa sarana kecuali hati dan beberapa jarak temapat duduk. Atau mungkin juga, pihak pencerita berkata, ''Kamu ko gitu sih, tanggepannya dong??''
2. tetap melanjutkan komunikasi seru itu dengan tapi,
ya, seperti yang saya alami. Sms-an kami tetap berlangsung seru, tapi temen saya mengajukan syarat dengan membalas sms O saya dengan,
"""Na, jangan terlalu hemat ya sms-nya. Tar diskonek berabe tauk"""
Dan otomatis saya menjawab sms itu dengan 'OK,' hehe
Pihak kedua mungkin dengan mengatakannya secara blak blakan seperti itu dan tanpa memutuskan sms-annya.
3. tetap seru berkomunikasi walau dengan sangaaaat hemat,
Baru ada satu teman saya yang mungkin bisa dibilang bisa menerima apa adanya. Tak lain dan tak bukan adalah karena ia tak pernah ambil pusing dengan bagaimanapun bentuk komunikasi saya dengannya. Entah hanya dengan satu huruf tanpa ujung itu atau huruf huruf yang lain, atau bahkan hanya dengan satu tanda baca, misalnya tanda tanya dan tanda pentung dalam sebuah sms. Dan dengan teman saya yang satu ini, saya lebih bisa berheemat energi, kata, dan sms. Haha,
Pernah dalam salah satu komunikasi langsung kami,
"Boleh ngikut??"
dan jawaban saya saat itu adalah dengan sedikit menunduk dan kacamata agak turun mendekati ujung hidung dengan mata tetap meliahat ke arahnya. Hehe, yang artinya WHAtt?? dan inti dari jawabn itu adalah tak perlulah ikut ikut saya.
begitulah hingga saya rasa saya harus membaginy ake nafida, jendela kecil kita semua, bukan satu tapi menyatu.
Dan inti yang say aharapkan dari secuil share ini adalah,
bagaimanapun kita, sosial tetap menilai bagaimana kita.
Ya, silakan guncang imajinasi masing masing. Bagaimana kita menyikapi lingkaran kecil tanpa ujung itu, dan bagaimana kita membawanya berinteraksi dengan yang lainnya.
Ketika nafida menggunakan satu huruf itu dalam dialog langsung terkadang nafida tidak menemukan kesulitan berarti dalam percakapan itu. SekalipuN ada, percikan masalah itu akan segera berakhir dengan cepat.
Bayangin saja, ketika misalnya kamu bercerita tentang ketidaknyamananmu dengan sikap salah seorang teman, dan hanya ditanggapi dengan 'O,'
Ada banyak kemungkinan yang akan terjadi sesaat setelah sehuruf tanpa ujung itu meluncur dari lisan pihak kedua. Dan itu semua tergantung sifat masing masing.
Saya salah seorang yang bisa dibilang sering menggunakan satu huruf mujarab itu dalam sms communications, dan dari beberapa teman yang saya kirimi sms yang sangat singkat itu, kebanyakan menunjukkan respons yang tidak sangka sebelumnya.
Kemungkinan kemungkinan itu mungkin adalah sebagai berikut :
1. memutuskan hubungan komunikasi yang sedang asyik asyiknya,
misalnya dengan tidak membalas lagi sms sms sebelumnya dan mengakhiri tanpa ada salam perpisahan. Ini kalau dalam komunikasi langsung yang menggunakan sarana tidak langsuns. Yup, sms.
Atau tiba tiba diam dan tidak lagi melanjutkan ceritanya, jika komunikasi itu berlangsung secara langsung tanpa sarana kecuali hati dan beberapa jarak temapat duduk. Atau mungkin juga, pihak pencerita berkata, ''Kamu ko gitu sih, tanggepannya dong??''
2. tetap melanjutkan komunikasi seru itu dengan tapi,
ya, seperti yang saya alami. Sms-an kami tetap berlangsung seru, tapi temen saya mengajukan syarat dengan membalas sms O saya dengan,
"""Na, jangan terlalu hemat ya sms-nya. Tar diskonek berabe tauk"""
Dan otomatis saya menjawab sms itu dengan 'OK,' hehe
Pihak kedua mungkin dengan mengatakannya secara blak blakan seperti itu dan tanpa memutuskan sms-annya.
3. tetap seru berkomunikasi walau dengan sangaaaat hemat,
Baru ada satu teman saya yang mungkin bisa dibilang bisa menerima apa adanya. Tak lain dan tak bukan adalah karena ia tak pernah ambil pusing dengan bagaimanapun bentuk komunikasi saya dengannya. Entah hanya dengan satu huruf tanpa ujung itu atau huruf huruf yang lain, atau bahkan hanya dengan satu tanda baca, misalnya tanda tanya dan tanda pentung dalam sebuah sms. Dan dengan teman saya yang satu ini, saya lebih bisa berheemat energi, kata, dan sms. Haha,
Pernah dalam salah satu komunikasi langsung kami,
"Boleh ngikut??"
dan jawaban saya saat itu adalah dengan sedikit menunduk dan kacamata agak turun mendekati ujung hidung dengan mata tetap meliahat ke arahnya. Hehe, yang artinya WHAtt?? dan inti dari jawabn itu adalah tak perlulah ikut ikut saya.
begitulah hingga saya rasa saya harus membaginy ake nafida, jendela kecil kita semua, bukan satu tapi menyatu.
Dan inti yang say aharapkan dari secuil share ini adalah,
bagaimanapun kita, sosial tetap menilai bagaimana kita.
Selasa, 23 Agustus 2011
Status Fb
Suatu saat di perjumpaan dengan teman lamaku, ia bercerita tentang salah satu teman lamanya, yang telah dikenalnya agak lama sejak masih duduk di bangku sma. Dan saat ini kami telah mengenyam pendidikan yang sering disebut kebanyakan orang dengan kuliah.
Teman lama teman lamaku itu adalah seorang yang menurutku tingkat intelektualnya tak bisa diremehkan begitu saja. Sebetulnya ia bisa juga disebut teman lamaku, karena setahun lalu teman lama teman lamaku itu mengikuti tes masuk ke jenjang perkuliahan sebuah perkuliahan yang sama denganku, bahkan nomor urut tes kami hanya terpaut beberapa nomor saja. Tapi, karena selama masa kebersamaan kami itu tak ada interaksi apapun, kecuali hanya mengetahui keberadaan satu sama lain. Saya menunggu giliran tes lisan di bagian perempuan dan dia menunggu giliran tes lisan di bagian laki laki. Begitulah, hingga menurut saya, kurang pantas jika saya menyebutnya sebagai teman tanpa ada interaksi pertemanan apapun.
Ya, teman lamaku, Fafa, bercerita tentang teman lamanya yang semakin meningkat saja kekritisannya sejak ia kuliah. Dan yang membuat saya tertarik untuk berbagi di blog jendela kecil ini adalah teman lama Fafa itu berkata,
'' Status fb mahasiswa Indonesia percintaan melulu isinya. Curhat lah, apa lah. Kapan Indonesia mau maju??''
Saya yang juga seorang mahasiswa dan fb user, sedikit tersedak mendengarkan cerita kecil teman lamaku. Hm, bukankah ia juga seorang mahasiswa INDONESIA. Ya, memang ada perbedaan antara Fafa, saya, dan teman lamanya itu. Fafa diterima di institut Negeri, saya hanya seorang mahasiswa di lembaga swasta dan baru angkatan kelima sejak tahun pertama berdirinya, dan teman lama Fafa itu mampu kuliah di salah satu perkuliahan tertua di dunia, bukan di Indonesia.
Kedua tandukku nyaris muncul saat itu, tapi tak bisa juga jika aku menyalahkan perkataan teman lama Fafa itu. Lihat saja wall wall fb teman kita, atau tak usah jauh jauh ke teman lah. Wall fb kita sendiri, apakah bisa disebut wall seorang mahasiswa??
Mahasiswa, yang di tangannya tersimpan gambaran nasib penduduk Indonesia masa depan. Yang di punggungnya kesejahteraan warga negara Indonesia berada. Yang di hatinya ketentraman masa depan rakyat Indonesia masih dirahasiakan oelh sang Maha Perencana.
Dan seketika tanduk singgungku seketika layu, malu. Aku sendiri, memang sering menggunakan fb app itu untuk mendengarkan komentar2 teman fb ku yang kebanyakan tak ku kenal itu, walau bukan urusan cinta cinta yang seperti dikeluhkan teman lama Fafa itu sih. Tapi, harus ku akui, terkadang aku lebih memilih untuk tidak ambil pusing atau bahkan tak perduli dengan segala masalah yang menghantui Negeri Raya ini. Dan aku tertampar dengan kata kata teman lama Fafa tadi.
Mau jadi apa wahai mahasiswa Indonesiaaaa?????
Kau yang kuliah di jurusan kedokteran,
apa sudah cukupkah kau mengubah nasib bangsa dengan hanya duduk memeriksa, menulis resep, dan meminta pasien pasienmu menebusnya di apotek? dengan sekian persen adalah jatah untukmu???
Kau yang kuliah di jurusan Syariah,
sudah layakkah disebut bertanggung jawab sedang memperingatkan anak kecil untuk mensucikan kaki dulu sebelum menginjak lantai surau, kau lebih memilih untuk diam??
dan menyimpan semua hukum Allah di dalam benakmu??
Kau yang kuliah di perfilman,
tak malukah dengan jumlah peminat film Negeri kita lebih sedikit jumlahnya??
Dan Kau Kau yang kuliah di jurusan masing masing,
mau diapakan Negeri kita ini dengan modul modul kuliah kita??
mau dikemanakan nasib bangsa kita nanti dengan gelar gelar sarjana, master, dan doktor kalian nanti??
Sejenak,
kadang kita memerlukan sejenak waktu untuk kembali meluruskan niat kita dalam perkuliahan. Dan menata kembali maket maket yang hampir membelok dari cita awal kita..
Terimakasih, teman lama teman lamaku..
--kayangan, 22:30, 23 ramadlan 1432 H--
Teman lama teman lamaku itu adalah seorang yang menurutku tingkat intelektualnya tak bisa diremehkan begitu saja. Sebetulnya ia bisa juga disebut teman lamaku, karena setahun lalu teman lama teman lamaku itu mengikuti tes masuk ke jenjang perkuliahan sebuah perkuliahan yang sama denganku, bahkan nomor urut tes kami hanya terpaut beberapa nomor saja. Tapi, karena selama masa kebersamaan kami itu tak ada interaksi apapun, kecuali hanya mengetahui keberadaan satu sama lain. Saya menunggu giliran tes lisan di bagian perempuan dan dia menunggu giliran tes lisan di bagian laki laki. Begitulah, hingga menurut saya, kurang pantas jika saya menyebutnya sebagai teman tanpa ada interaksi pertemanan apapun.
Ya, teman lamaku, Fafa, bercerita tentang teman lamanya yang semakin meningkat saja kekritisannya sejak ia kuliah. Dan yang membuat saya tertarik untuk berbagi di blog jendela kecil ini adalah teman lama Fafa itu berkata,
'' Status fb mahasiswa Indonesia percintaan melulu isinya. Curhat lah, apa lah. Kapan Indonesia mau maju??''
Saya yang juga seorang mahasiswa dan fb user, sedikit tersedak mendengarkan cerita kecil teman lamaku. Hm, bukankah ia juga seorang mahasiswa INDONESIA. Ya, memang ada perbedaan antara Fafa, saya, dan teman lamanya itu. Fafa diterima di institut Negeri, saya hanya seorang mahasiswa di lembaga swasta dan baru angkatan kelima sejak tahun pertama berdirinya, dan teman lama Fafa itu mampu kuliah di salah satu perkuliahan tertua di dunia, bukan di Indonesia.
Kedua tandukku nyaris muncul saat itu, tapi tak bisa juga jika aku menyalahkan perkataan teman lama Fafa itu. Lihat saja wall wall fb teman kita, atau tak usah jauh jauh ke teman lah. Wall fb kita sendiri, apakah bisa disebut wall seorang mahasiswa??
Mahasiswa, yang di tangannya tersimpan gambaran nasib penduduk Indonesia masa depan. Yang di punggungnya kesejahteraan warga negara Indonesia berada. Yang di hatinya ketentraman masa depan rakyat Indonesia masih dirahasiakan oelh sang Maha Perencana.
Dan seketika tanduk singgungku seketika layu, malu. Aku sendiri, memang sering menggunakan fb app itu untuk mendengarkan komentar2 teman fb ku yang kebanyakan tak ku kenal itu, walau bukan urusan cinta cinta yang seperti dikeluhkan teman lama Fafa itu sih. Tapi, harus ku akui, terkadang aku lebih memilih untuk tidak ambil pusing atau bahkan tak perduli dengan segala masalah yang menghantui Negeri Raya ini. Dan aku tertampar dengan kata kata teman lama Fafa tadi.
Mau jadi apa wahai mahasiswa Indonesiaaaa?????
Kau yang kuliah di jurusan kedokteran,
apa sudah cukupkah kau mengubah nasib bangsa dengan hanya duduk memeriksa, menulis resep, dan meminta pasien pasienmu menebusnya di apotek? dengan sekian persen adalah jatah untukmu???
Kau yang kuliah di jurusan Syariah,
sudah layakkah disebut bertanggung jawab sedang memperingatkan anak kecil untuk mensucikan kaki dulu sebelum menginjak lantai surau, kau lebih memilih untuk diam??
dan menyimpan semua hukum Allah di dalam benakmu??
Kau yang kuliah di perfilman,
tak malukah dengan jumlah peminat film Negeri kita lebih sedikit jumlahnya??
Dan Kau Kau yang kuliah di jurusan masing masing,
mau diapakan Negeri kita ini dengan modul modul kuliah kita??
mau dikemanakan nasib bangsa kita nanti dengan gelar gelar sarjana, master, dan doktor kalian nanti??
Sejenak,
kadang kita memerlukan sejenak waktu untuk kembali meluruskan niat kita dalam perkuliahan. Dan menata kembali maket maket yang hampir membelok dari cita awal kita..
Terimakasih, teman lama teman lamaku..
--kayangan, 22:30, 23 ramadlan 1432 H--
Minggu, 21 Agustus 2011
21 Ramadlan
Ramadlan kali ini, entah lenyap atau hilang. aku tak bisa atau memang tak terbiasa meresapi ramadlan kali ini.
Jumat, 29 Juli 2011
Nishfu Sya'ban.. #2
Aku hanya terpaku, bergeming dalam diamku, menatap nanar sepasang pintu di depanku. Tak tahu harus bagaimana mendefinisikan galau hatiku saat ini.
Aku tak merasa tegang, tapi tak tahu, aku masih tercekat dengan keadaan ini. Aku hanya berusaha mengendalikan lisanku untuk tetap menyebut namaNya dan nama utusanNya di tengah keadaan yang sulit lagi ku kendalikan ini. Emosiku sudah tak bisa lagi ditafsiri dengan hanya melihatku terduduk di kursi kursi tunggu yang sangat dingin ku rasa saat ini.
Aku masih tetap menunggu datangnya saat sepasang pintu kaca buram depanku ini terbuka dengan kabar kabarnya yang menyenangkan. Saat yang hanya Allah tahu bagaimana kehendakNya. Saat yang semakin membuatku kesulitan sendiri mengerti apa yang harusnya ku rasa saat ini.
“Dek, anter kakak pulang aja yuk!”
Terdengar hembusan nafas berat dari lawan bicaraku ini. “Tadi ia hanya mengirim sms, ajak kakak ke rumah sakit ini. Saat itu juga.”
Namun, tak ada kata yang harus ku ucapkan. Kami hanya berkecamuk dalam diam hingga beberapa saat.
Tak ada yang bisa ku lakukan lagi, kecuali hanya menyerahkan semuanya pada Allah. Ku sebut namaNya pelan tanpa henti. Aku sama sekali tak punya daya, Allah.
“Tapi aku tak menghiraukan sms itu langsung. Aku hanya tak mau kegiatanku tadi harus terputus. Maaf kak, hingga teman Angga nelpon aku. Angga sedang kritis di ICU.”
Aku menyimaknya dalam diam. Terbelalak sejenak. Dan kembali ku kembalikan diriku dalam dzikirNya. Berikan kami yang terbaik bagi kami, Allah.
Aku hanya tak ingin menjadi teman yang jahat bagi siapapun, termasuk Angga. Allah menjelmakan titisan Yusuf dalam diri Angga. Tapi aku tak mampu menjadi siapapun untuk orang yang sama sekali tak ku kenal kecuali hanya dalam diskusi diskusi kampus. Allah meletakkan kemampuan intelektual yang mencengangkan bagiku dalam dirinya. Tapi aku tak mau jika makhluk Allah manapun menjadikanku penghambat dalam
penghambaan padaNya. Termasuk Angga.
Aku tak menginginkan apapun, setidaknya untuk saat ini, segala hal yang berhubungan dengan kebanyakan orang menyebutnya cinta. Aku hanya melihat cinta nyata dariNya. Aku tak bisa menerima jika siapapun menyebut cintaNya untuk makhlukNya.
Dan aku tak mau jika tentang cinta ini, membuat kami tak mampu berkomunikasi lagi dengan baik. Menjadikan kami hamba yang durhaka. Dan menyebabkanku tak bisa menghargai makhluk Allah yang sangat ku kagumi ini.
Kacamataku buram.
“Ehm, Anda saudari Nana?”
“Iya dok,” ku dongakkan kepalaku, mengusir tunduk yang telah lama bersamaku.
“Pasien ingin bertemu dengan Anda, silakan”
Aku hanya terdiam. Tak segera beranjak tapi aku juga tak yakin dalam dudukku.
“Kak,” seru adikku.
Ku langkahkan kakiku menemuinya yang kini sedang tergeletak di atas dipan serba putih.
“Assalamu’alaikum,” salamku seketika saat Angga menoleh ke arahku.
“Alaykumussalam wa rahmatullah wa barakatuh,” jawabnya dengan senyum.
Tak ada yang aneh dengan suaranya. Tak ada yang berbeda dengan suara suara lantangnya di tengah diskusi. Ringan penuh wibawa, tak ada serak ataupun sengau di sana.
Kami hilang dalam diam. Tak ada percakapan, tak ada suara apapun kecuali wibawa AC yang arogan. Perawat di sampingku memberiku isyarat agar aku segera keluar. Aku mengangguk. Tapi Angga malah berusaha menggerakkan badannya. Berusaha mendudukkan tubuhnya yang mungkin telah lama terbaring di sana. Membuat perawat tadi agak panik dan membuatku mengurungkan niatku untuk segera beranjak dari situ.
Angga memintaku membuka lemari besar yang terletak di pojok ruang itu. Ku turuti saja apa maunya, tak tega dengan apa yang ku lihat pada dirinya saat ini. Tak ku ingat sama sekali segala perbuatannya kepadaku yang sangat sering menjengkelkan emosiku.
Kemudian ia memberi isyarat untuk mengambil kotak yang terletak di laci paling atas di lemari itu. Ku bawa kotak itu mendekat ke arah ranjang yang sedang dikuasainya saat ini.
Tapi belum sempat aku menanyakan apa isi kotak itu atau apapun tentang kotak yang sedang ku pegang ini. Kepalanya telah menunduk dalam, dan perawat tadi menyuruhku untuk meninggalkan ruangan itu. Perawat yang lain sibuk memanggil dokter yang tadi menangani Angga. Jiwa ruangan ini seakan sedang bertaruh nafas atau tanah. Ku lihat semuanya dalam panik yang kembali membuatku semakin tak bisa berbicara. Aku hanya diam.
Keluar dari ruangan itu, adikku menuntunku duduk di deretan kursi abu abu yang tadi ku duduki bersamanya.
Ku tatap nanar kembali sepasang pintu yang telah membuat ceritaku dengan Angga bertambah. Tak sekedar sms, debat, dan diskusi. Kami telah bercengkerama dalam diam dan senyap yang berakhir kepanikan orang orang di sekitar kami.
Aku terus melalui hari ini hingga akhir dalam tatap nanar pada sepasang pintu buram di depanku. Dalam diamku dan dalam emosiku yang tak bisa ku pahami.
oOo
Aku tak merasa tegang, tapi tak tahu, aku masih tercekat dengan keadaan ini. Aku hanya berusaha mengendalikan lisanku untuk tetap menyebut namaNya dan nama utusanNya di tengah keadaan yang sulit lagi ku kendalikan ini. Emosiku sudah tak bisa lagi ditafsiri dengan hanya melihatku terduduk di kursi kursi tunggu yang sangat dingin ku rasa saat ini.
Aku masih tetap menunggu datangnya saat sepasang pintu kaca buram depanku ini terbuka dengan kabar kabarnya yang menyenangkan. Saat yang hanya Allah tahu bagaimana kehendakNya. Saat yang semakin membuatku kesulitan sendiri mengerti apa yang harusnya ku rasa saat ini.
“Dek, anter kakak pulang aja yuk!”
Terdengar hembusan nafas berat dari lawan bicaraku ini. “Tadi ia hanya mengirim sms, ajak kakak ke rumah sakit ini. Saat itu juga.”
Namun, tak ada kata yang harus ku ucapkan. Kami hanya berkecamuk dalam diam hingga beberapa saat.
Tak ada yang bisa ku lakukan lagi, kecuali hanya menyerahkan semuanya pada Allah. Ku sebut namaNya pelan tanpa henti. Aku sama sekali tak punya daya, Allah.
“Tapi aku tak menghiraukan sms itu langsung. Aku hanya tak mau kegiatanku tadi harus terputus. Maaf kak, hingga teman Angga nelpon aku. Angga sedang kritis di ICU.”
Aku menyimaknya dalam diam. Terbelalak sejenak. Dan kembali ku kembalikan diriku dalam dzikirNya. Berikan kami yang terbaik bagi kami, Allah.
Aku hanya tak ingin menjadi teman yang jahat bagi siapapun, termasuk Angga. Allah menjelmakan titisan Yusuf dalam diri Angga. Tapi aku tak mampu menjadi siapapun untuk orang yang sama sekali tak ku kenal kecuali hanya dalam diskusi diskusi kampus. Allah meletakkan kemampuan intelektual yang mencengangkan bagiku dalam dirinya. Tapi aku tak mau jika makhluk Allah manapun menjadikanku penghambat dalam
penghambaan padaNya. Termasuk Angga.
Aku tak menginginkan apapun, setidaknya untuk saat ini, segala hal yang berhubungan dengan kebanyakan orang menyebutnya cinta. Aku hanya melihat cinta nyata dariNya. Aku tak bisa menerima jika siapapun menyebut cintaNya untuk makhlukNya.
Dan aku tak mau jika tentang cinta ini, membuat kami tak mampu berkomunikasi lagi dengan baik. Menjadikan kami hamba yang durhaka. Dan menyebabkanku tak bisa menghargai makhluk Allah yang sangat ku kagumi ini.
Kacamataku buram.
“Ehm, Anda saudari Nana?”
“Iya dok,” ku dongakkan kepalaku, mengusir tunduk yang telah lama bersamaku.
“Pasien ingin bertemu dengan Anda, silakan”
Aku hanya terdiam. Tak segera beranjak tapi aku juga tak yakin dalam dudukku.
“Kak,” seru adikku.
Ku langkahkan kakiku menemuinya yang kini sedang tergeletak di atas dipan serba putih.
“Assalamu’alaikum,” salamku seketika saat Angga menoleh ke arahku.
“Alaykumussalam wa rahmatullah wa barakatuh,” jawabnya dengan senyum.
Tak ada yang aneh dengan suaranya. Tak ada yang berbeda dengan suara suara lantangnya di tengah diskusi. Ringan penuh wibawa, tak ada serak ataupun sengau di sana.
Kami hilang dalam diam. Tak ada percakapan, tak ada suara apapun kecuali wibawa AC yang arogan. Perawat di sampingku memberiku isyarat agar aku segera keluar. Aku mengangguk. Tapi Angga malah berusaha menggerakkan badannya. Berusaha mendudukkan tubuhnya yang mungkin telah lama terbaring di sana. Membuat perawat tadi agak panik dan membuatku mengurungkan niatku untuk segera beranjak dari situ.
Angga memintaku membuka lemari besar yang terletak di pojok ruang itu. Ku turuti saja apa maunya, tak tega dengan apa yang ku lihat pada dirinya saat ini. Tak ku ingat sama sekali segala perbuatannya kepadaku yang sangat sering menjengkelkan emosiku.
Kemudian ia memberi isyarat untuk mengambil kotak yang terletak di laci paling atas di lemari itu. Ku bawa kotak itu mendekat ke arah ranjang yang sedang dikuasainya saat ini.
Tapi belum sempat aku menanyakan apa isi kotak itu atau apapun tentang kotak yang sedang ku pegang ini. Kepalanya telah menunduk dalam, dan perawat tadi menyuruhku untuk meninggalkan ruangan itu. Perawat yang lain sibuk memanggil dokter yang tadi menangani Angga. Jiwa ruangan ini seakan sedang bertaruh nafas atau tanah. Ku lihat semuanya dalam panik yang kembali membuatku semakin tak bisa berbicara. Aku hanya diam.
Keluar dari ruangan itu, adikku menuntunku duduk di deretan kursi abu abu yang tadi ku duduki bersamanya.
Ku tatap nanar kembali sepasang pintu yang telah membuat ceritaku dengan Angga bertambah. Tak sekedar sms, debat, dan diskusi. Kami telah bercengkerama dalam diam dan senyap yang berakhir kepanikan orang orang di sekitar kami.
Aku terus melalui hari ini hingga akhir dalam tatap nanar pada sepasang pintu buram di depanku. Dalam diamku dan dalam emosiku yang tak bisa ku pahami.
oOo
Kamis, 21 Juli 2011
Nishfu Sya'ban..
"Assalamualaikum," terdengar suara agak berat dari seberang sana
"alaykumussalam," ku jawab asal. ada yang menyesak di dada setiap terdengar suara ini.
"ukhti udah melihat lukisanNya malam ini?"
"udah," jawabku enggan
terjadi jeda beberapa saat. disusul hembusan nafas berat milik seseorang yang sekarang sedang berbincang denganku.
"nishfu syaban kali ini, saya sangat bersyukur pada Allah."
terjadi jeda lagi.
aku tetap bergeming dengan dan dalam diamku.
Jeda kali ini agak lama. Hingga rampung beberapa lembar buku yang sedang ku baca ini.
"Saya boleh minta sebuah permintaan?"
Astaghfirullah, ucapku dalam hati. Perih menahan beberapa tingkah ikhwan satu ini yang menjengkelkan hati.
"Apa akh?"
"Ukhti ke loteng lagi ya, kita lihat lukisanNya bareng"
Nyaris meledak amarahku, tapi ku tahan lagi entah yang ke berapa kali.
"Ok, tapi saya ogah lihat bulan bareng antum."
Ku langkahkan kaki menaiki anak anak tangga menuju loteng rumah. Tak ku hiraukan lagi, selularku masih bernyawa atau bisu, aku tak peduli. Yang ku mau saat itu, hanya agar segera duduk dengan dagu senyawa dengan bingkai jendela loteng rumahku. Beku.
"Subhanallah," ucapku lirih selirih hembusan angin yang menyentuh pipiku lewat bingkai jendela loteng rumahku itu.
Padang rembulan, cerah. Warnanya mengingatkanku pada sirup buatan eyang tadi sore, lembut lemon mampu menjelma dalam sinar lukisanMu, Allah.
Ku tumpukan daguku di atas kedua lenganku, tertata rapi di salah sisi bingkai jendela.
Ups, baru ku sadari, aku telah lama membiarkan benda dalam genggamanku dalam tak abaiku.
"Assalamu'alaikum,"
"Alaykumussalam, ukhti udah di depan logam langit?"
Aku tersenyum mendengar sebutannya kali ini untuk bulan terang di depanku itu.
"indah,"
"Walau saya tak bisa melihat ukhti saat ini, tapi ukhti lebih indah dari logam langit itu. Saya yakin,"
Ku hembuskan nafas panjang sangat berat, sengaja ku tunjukkan pada ikhwan ini. Lalu dengan cepat ku tekan tombol henti dari pembicaraan di layar ponselku.
Aku sangat membenci kata kata seperti itu, dari siapapun, yang ditujukan untukku. Dalam keadaan apapun. Bercanda sekalipun, hanya mungkin responsku agak ringan.
Tak lama, ponselku berteriak lagi.
Ku pandangi ponselku nanar. Dan segera ku tinggalkan jejak langkah menuruni anak tangga. Ada setitik bulir bening yang hangat menuruni pipiku bersama pelan kakiku menuruni anak tangga. Maafkan aku, akhi.
Nishfu sya’ban kali ini, sebenarnya aku ingin mengakhiri segala sikapmu dengan maafku. Tapi sayang kau datang lebih awal dari skenarioku, karena Allah telah menyiapkan skenarioNya seperti ini sejak lalu, dan aku tak bisa apa apa lagi sekarang kecuali hannya membecimu, akh.
Tak ada lagi menit yang mampu memperbaiki keadaan menyebalkan ini kecuali saat saat milik bangku. Nanti setelah empat puluh lima hari berlalu, mengusung hari besar. Mungkin.
Ku rebahkan tubuhku seiring gumam takdhim kepada Sang Pengalir nafas dalam detakku.
oOo
Tok tok tok, “neng,”
Ku kerjapkan mata, bangun dari tidurku. Terdengar suara adik laki lakiku di balik pintu. Aku tersenyum, Alhamdulillah, akhirnya kini giliran dia membangunkanku. Tahajjud malam.
Tok tok tok, “neng,” agak keras pintu kamarku diketuknya.
“Ya,” jawabku segera dan beranjak mendekati daun kayu coklat itu.
Ku longokkan kepalaku seraya menyunggingkan senyum pada adikku.
“Alhamdulillah, akhirnya kamu bisa juga bangun lebih awal dari kakak. Makasih ya, udah dibangunin”
Tapi yang ku lihat dari wajahnya bukan seperti biasa. Manyun dan seakan menyimpan sesuatu.
“Ayo kak,” ucapnya seraya menarik tanganku, membawa tubuhku keluar kamar, dengan gerakannya yang sangat cepat, ia memboncengku di atas sepeda motornya.
Ku turunkan tubuhku dari sepeda motornya. Ada apa sih? Panik banget adikku ini.
“Bentar, kakak ambil mukena dulu. Kamu mau ngajakin kakak tahajjudan di masjid akbar kah? Kenapa kamu panik banget sih dek?”
“Liat jam tangan kakak, pukul berapa sekarang?”
Ku singkapkan lengan bajuku, tak ada penunjuk waktu disana. Ku perlihatkan pada adikku.
“Hmmhh, sekarang masih jam setengah dua belas kak. Udah deh neng, naek aja pean”
“Berarti kamu belum tidur? Trus mau ngapain ngajakin keluar malem malem gini.”
“Angga kritis, sekarang dia di rumah sakit. Ayo kak, cepetan.”
Aku terpaku dalam sekejap, dan segera ku berlari ke kamar meraih mukena, tasbih, dan sejadahku. Tapi kembali aku tersadar. Duduk di bibir ranjang. Beku. Aku sadar, ga ada hubungannya denganku, kan.
Suara derap langkah adikku mencairkan bekuku tiba tiba. Tak ada daya lagi, saat dia menarik tanganku lagi.
oOo
"alaykumussalam," ku jawab asal. ada yang menyesak di dada setiap terdengar suara ini.
"ukhti udah melihat lukisanNya malam ini?"
"udah," jawabku enggan
terjadi jeda beberapa saat. disusul hembusan nafas berat milik seseorang yang sekarang sedang berbincang denganku.
"nishfu syaban kali ini, saya sangat bersyukur pada Allah."
terjadi jeda lagi.
aku tetap bergeming dengan dan dalam diamku.
Jeda kali ini agak lama. Hingga rampung beberapa lembar buku yang sedang ku baca ini.
"Saya boleh minta sebuah permintaan?"
Astaghfirullah, ucapku dalam hati. Perih menahan beberapa tingkah ikhwan satu ini yang menjengkelkan hati.
"Apa akh?"
"Ukhti ke loteng lagi ya, kita lihat lukisanNya bareng"
Nyaris meledak amarahku, tapi ku tahan lagi entah yang ke berapa kali.
"Ok, tapi saya ogah lihat bulan bareng antum."
Ku langkahkan kaki menaiki anak anak tangga menuju loteng rumah. Tak ku hiraukan lagi, selularku masih bernyawa atau bisu, aku tak peduli. Yang ku mau saat itu, hanya agar segera duduk dengan dagu senyawa dengan bingkai jendela loteng rumahku. Beku.
"Subhanallah," ucapku lirih selirih hembusan angin yang menyentuh pipiku lewat bingkai jendela loteng rumahku itu.
Padang rembulan, cerah. Warnanya mengingatkanku pada sirup buatan eyang tadi sore, lembut lemon mampu menjelma dalam sinar lukisanMu, Allah.
Ku tumpukan daguku di atas kedua lenganku, tertata rapi di salah sisi bingkai jendela.
Ups, baru ku sadari, aku telah lama membiarkan benda dalam genggamanku dalam tak abaiku.
"Assalamu'alaikum,"
"Alaykumussalam, ukhti udah di depan logam langit?"
Aku tersenyum mendengar sebutannya kali ini untuk bulan terang di depanku itu.
"indah,"
"Walau saya tak bisa melihat ukhti saat ini, tapi ukhti lebih indah dari logam langit itu. Saya yakin,"
Ku hembuskan nafas panjang sangat berat, sengaja ku tunjukkan pada ikhwan ini. Lalu dengan cepat ku tekan tombol henti dari pembicaraan di layar ponselku.
Aku sangat membenci kata kata seperti itu, dari siapapun, yang ditujukan untukku. Dalam keadaan apapun. Bercanda sekalipun, hanya mungkin responsku agak ringan.
Tak lama, ponselku berteriak lagi.
Ku pandangi ponselku nanar. Dan segera ku tinggalkan jejak langkah menuruni anak tangga. Ada setitik bulir bening yang hangat menuruni pipiku bersama pelan kakiku menuruni anak tangga. Maafkan aku, akhi.
Nishfu sya’ban kali ini, sebenarnya aku ingin mengakhiri segala sikapmu dengan maafku. Tapi sayang kau datang lebih awal dari skenarioku, karena Allah telah menyiapkan skenarioNya seperti ini sejak lalu, dan aku tak bisa apa apa lagi sekarang kecuali hannya membecimu, akh.
Tak ada lagi menit yang mampu memperbaiki keadaan menyebalkan ini kecuali saat saat milik bangku. Nanti setelah empat puluh lima hari berlalu, mengusung hari besar. Mungkin.
Ku rebahkan tubuhku seiring gumam takdhim kepada Sang Pengalir nafas dalam detakku.
oOo
Tok tok tok, “neng,”
Ku kerjapkan mata, bangun dari tidurku. Terdengar suara adik laki lakiku di balik pintu. Aku tersenyum, Alhamdulillah, akhirnya kini giliran dia membangunkanku. Tahajjud malam.
Tok tok tok, “neng,” agak keras pintu kamarku diketuknya.
“Ya,” jawabku segera dan beranjak mendekati daun kayu coklat itu.
Ku longokkan kepalaku seraya menyunggingkan senyum pada adikku.
“Alhamdulillah, akhirnya kamu bisa juga bangun lebih awal dari kakak. Makasih ya, udah dibangunin”
Tapi yang ku lihat dari wajahnya bukan seperti biasa. Manyun dan seakan menyimpan sesuatu.
“Ayo kak,” ucapnya seraya menarik tanganku, membawa tubuhku keluar kamar, dengan gerakannya yang sangat cepat, ia memboncengku di atas sepeda motornya.
Ku turunkan tubuhku dari sepeda motornya. Ada apa sih? Panik banget adikku ini.
“Bentar, kakak ambil mukena dulu. Kamu mau ngajakin kakak tahajjudan di masjid akbar kah? Kenapa kamu panik banget sih dek?”
“Liat jam tangan kakak, pukul berapa sekarang?”
Ku singkapkan lengan bajuku, tak ada penunjuk waktu disana. Ku perlihatkan pada adikku.
“Hmmhh, sekarang masih jam setengah dua belas kak. Udah deh neng, naek aja pean”
“Berarti kamu belum tidur? Trus mau ngapain ngajakin keluar malem malem gini.”
“Angga kritis, sekarang dia di rumah sakit. Ayo kak, cepetan.”
Aku terpaku dalam sekejap, dan segera ku berlari ke kamar meraih mukena, tasbih, dan sejadahku. Tapi kembali aku tersadar. Duduk di bibir ranjang. Beku. Aku sadar, ga ada hubungannya denganku, kan.
Suara derap langkah adikku mencairkan bekuku tiba tiba. Tak ada daya lagi, saat dia menarik tanganku lagi.
oOo
Senin, 18 Juli 2011
Minggu, 26 Juni 2011
The Opening - Al Fatihah
The Opening
Surat [1] الفاتحة :: Al-Fatihah
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ (١)
1. Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
الْحَمْدُ للّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (٢)
2. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.
الرَّحْمـنِ الرَّحِيمِ (٣)
3. Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ (٤)
4. Yang menguasai di Hari Pembalasan.
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ (٥)
5. Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.
اهدِنَــــا الصِّرَاطَ المُستَقِيمَ (٦)
6. Tunjukilah kami jalan yang lurus,
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنعَمتَ عَلَيهِمْ غَيرِ المَغضُوبِ عَلَيهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ (٧)
7. (yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.
Al Fatihah Mu yang begitu menggetarkan...
Subuh tadi, seperti biasa laysa menghadap TuhanNya bersama makhluk Allah lainnya.
laysa membuka subuhnya bersama di musholla kecil berdinding bambu yang tak rentan oleh angin dan panas yang kadangkale mengusiknya dari balik selimut.
In the name of Allah, the Beneficent, the Merciful
Praise be to Allah, Lord of the Worlds,
The Beneficent, the Merciful.
Master of the Day of Judgment,
Thee alone we worship; thee alone we ask for help.
Show us the straight path,
The path of those whom Thou hast favored; Not the (path) of those who earn Thy anger nor of those who go astray.
Surat [1] الفاتحة :: Al-Fatihah
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ (١)
1. Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
الْحَمْدُ للّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (٢)
2. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.
الرَّحْمـنِ الرَّحِيمِ (٣)
3. Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ (٤)
4. Yang menguasai di Hari Pembalasan.
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ (٥)
5. Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.
اهدِنَــــا الصِّرَاطَ المُستَقِيمَ (٦)
6. Tunjukilah kami jalan yang lurus,
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنعَمتَ عَلَيهِمْ غَيرِ المَغضُوبِ عَلَيهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ (٧)
7. (yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.
Al Fatihah Mu yang begitu menggetarkan...
Subuh tadi, seperti biasa laysa menghadap TuhanNya bersama makhluk Allah lainnya.
laysa membuka subuhnya bersama di musholla kecil berdinding bambu yang tak rentan oleh angin dan panas yang kadangkale mengusiknya dari balik selimut.
Jumat, 24 Juni 2011
kosong,
beberapa hari ini, laysa hanya dapat menemui kosong
ia sedang mencari sesuatu
namun berkali kali ia harus malu karena keliru,
laysa berkali kali keliru memahami yang dicarinya itu,
entah karena kosong itu,
ataukah kosong itu yang jadi anak anak ini.
berkali ia lalai, hingga mundur muncul waktu berikut
mungkin sekitar hitungan jari di salah satu genggamannya..
tak ada yang bisa ia lakukan lagi
kecuali hanya tetap melakukannya, walau waktunya bukan waktunya lagi.
laysa bukan tak tahu,
bukan pula lupa.
mungkin sebagian dari salahnya sendiri,
laysa lebih memilih untuk menanti waktu.
padahal jelas, waktu tak mau dinanti.
ia hanya ingin hidup sendiri.
dan sang waktu pun tetap bergeming dalam hatinya,
"kenapa kau salahkan diriku???
kau pun tahu aku gak mau ditunggu!!"
kata sang waktu pada khalayaknya, termasuk laysa
laysa kembali meneruskan pencariannya,
namun berkali beberapa hari ini,
ia hanya bertegur sapa dengan sang kosong yang masiiihh saja gemar dijumpainya tanpa sengaja itu.
namun malam membawanya terlelap dalam pencariannya yang penat.
laysa berdoa,
menangkupkan kedua telapak tangannya di hadapan wajahnya yang menunduk,
ya ALLAH, maha suci Engkau,
sesungguhnya hamba sebagian mereka yang dholim...
penuhi jiwaku dengan cintaMu, Allah
ia sedang mencari sesuatu
namun berkali kali ia harus malu karena keliru,
laysa berkali kali keliru memahami yang dicarinya itu,
entah karena kosong itu,
ataukah kosong itu yang jadi anak anak ini.
berkali ia lalai, hingga mundur muncul waktu berikut
mungkin sekitar hitungan jari di salah satu genggamannya..
tak ada yang bisa ia lakukan lagi
kecuali hanya tetap melakukannya, walau waktunya bukan waktunya lagi.
laysa bukan tak tahu,
bukan pula lupa.
mungkin sebagian dari salahnya sendiri,
laysa lebih memilih untuk menanti waktu.
padahal jelas, waktu tak mau dinanti.
ia hanya ingin hidup sendiri.
dan sang waktu pun tetap bergeming dalam hatinya,
"kenapa kau salahkan diriku???
kau pun tahu aku gak mau ditunggu!!"
kata sang waktu pada khalayaknya, termasuk laysa
laysa kembali meneruskan pencariannya,
namun berkali beberapa hari ini,
ia hanya bertegur sapa dengan sang kosong yang masiiihh saja gemar dijumpainya tanpa sengaja itu.
namun malam membawanya terlelap dalam pencariannya yang penat.
laysa berdoa,
menangkupkan kedua telapak tangannya di hadapan wajahnya yang menunduk,
ya ALLAH, maha suci Engkau,
sesungguhnya hamba sebagian mereka yang dholim...
penuhi jiwaku dengan cintaMu, Allah
Langganan:
Postingan (Atom)